Operasi Sunyi Menggoyang Legitimasi Ulama
Ketika ulama tak hanya digempur dengan senjata ideologi, tetapi juga dengan strategi delegitimasi yang membungkam wibawa keagamaannya.-Foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - ULAMA selama berabad-abad menjadi penjaga nalar keislaman, benteng moral bangsa, dan jembatan antara teks wahyu dan realitas sosial. Namun, dalam dekade terakhir, otoritas mereka menghadapi tantangan serius.
Serangan terhadap ulama tidak lagi datang melalui konfrontasi teologis terbuka, melainkan melalui operasi sunyi yang berupaya mengikis legitimasi sosial dan spiritual mereka di mata umat. Fenomena ini menjadi refleksi penting dalam memperingati Hari Santri 2025, ketika peran keulamaan dan pesantren kembali diuji di tengah gempuran wacana global.
Operasi delegitimasi terhadap ulama bekerja melalui tiga saluran utama: disrupsi informasi, propaganda ideologis, dan penetrasi budaya digital.
Pertama, disrupsi informasi memanfaatkan media sosial dan algoritma untuk membentuk persepsi bahwa ulama tradisional tertinggal dari zaman. Mereka digambarkan sebagai simbol konservatisme yang menghambat kemajuan.
Narasi ini kerap dikemas dengan bahasa modernisasi, padahal sejatinya menggeser otoritas tafsir dari tangan ulama ke ruang virtual tanpa sanad keilmuan. Fenomena ustaz digital yang lahir dari ruang algoritmik tanpa pendidikan formal menjadi salah satu gejalanya.
Kedua, propaganda ideologis muncul dari dua kutub ekstrem: kelompok transnasional berhaluan radikal dan gerakan sekular-liberal yang menolak peran agama dalam ruang publik. Kelompok pertama berusaha memonopoli tafsir agama, menuding ulama moderat sebagai kompromis terhadap penjajah Barat atau penguasa lokal.
Sebaliknya, kelompok kedua menuduh ulama sebagai penghalang rasionalitas dan kebebasan berpikir. Dua arus ini, meski berseberangan, sama-sama meminggirkan otoritas ulama yang berakar pada tradisi tawassuth, tawazun, dan tasamuh.
Ketiga, penetrasi budaya digital mengubah pola konsumsi pengetahuan agama. Dulu, sanad keilmuan dijaga melalui pertemuan langsung, tetapi kini digantikan dengan potongan video, kutipan parsial, dan ceramah singkat yang terlepas dari konteks metodologis. Keterputusan sanad ini memunculkan generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi miskin literasi keagamaan.
Akibatnya, kredibilitas ulama ditakar dari jumlah pengikut, bukan kedalaman ilmu. Dalam konteks inilah muncul apa yang disebut disenchantment of authority—penghilangan aura otoritas religius oleh teknologi dan budaya populer.
Fenomena ini sejalan dengan teori manufacturing consent yang dikemukakan oleh Noam Chomsky: pengendalian opini publik dilakukan bukan dengan kekerasan, melainkan melalui normalisasi pesan-pesan yang tampak wajar.
Dalam konteks Islam Nusantara, wacana modernitas yang menggeser ulama dari ruang publik bekerja seperti mekanisme halus tersebut.
Di baliknya terdapat kepentingan ekonomi-politik yang ingin menjauhkan umat dari otoritas moral yang independen. Delegitimasi ulama, dengan demikian, bukan sekadar problem internal keagamaan, tetapi bagian dari perang wacana global yang mempertarungkan siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran.
Di tingkat global, kampanye delegitimasi ulama juga ditopang oleh narasi keamanan pasca-11 September. Setiap simbol keulamaan tradisional diasosiasikan dengan konservatisme atau radikalisme. Banyak tokoh pesantren yang aktif dalam diplomasi damai justru dibungkam dengan tuduhan ekstremisme lunak.
Narasi ini kemudian diimpor ke Indonesia dalam bentuk kebijakan deradikalisasi yang kadang menempatkan ulama sebagai objek pengawasan, bukan mitra penyadaran.