DPRD BU Kecam Kekerasan Seksual Anak Dibawah Umur

Ketua DPRD Bengkulu Utara Sonti Bakara, SH.-(fendi/rl)-

BENGKULU UTARA - Beberapa kasus belakangan yang melibatkan kekerasan seksual terhadap anak anak yang masih dibawah umur, menjadi sorotan pihak lembaga legislatif Bengkulu Utara. Seperti diungkapkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bengkulu Utara (BU) Sonti Bakara, SH, yang mengecam keras tindakan kekerasan seksual terhadap anak yang masih dibawah umur. Untuk itu, ia mengajak masyarakat agar bersama sama mencegah kekerasan ini.

"Kami sangat prihatin dengan beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, dimana korban dan pelaku justru merupakan orang terdekat, baik dalam hubungan keluarga ataupun pertemanan. Terkait persoalan ini, ia meminta semua pihak terutama masyarakat untuk dapat mencegah agar kejadian kekerasan ini tidak terulang dan ada korban lainnya," ujarnya.

Ia pun mengaku, kasus yang terjadi baru-baru ini terjadi pada seorang anak di bawah umur, korban mengalami tindakan asusila sejak duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) oleh ayah kandungnya. Ini dinilainya sangat memilukan, lantaran dampak kekerasan seksual pada anak di bawah umur akan memberikan dampak trauma mendalam terhadap korban. Terbaru kasus ayah kandung melakukan tindak asusila terhadap anak kandungnya sendiri sejak duduk di bangku kelas tiga SD," terang Sonti Bakara.

Baca Juga: DPRD BU Dukung Kerjasama Penyajian Data dengan BPS

"Sejauh yang saya tahu, ada tiga dampak yang bisa terjadi pada anak apabila mengalami kekerasan seksual. Diantaranya, dampak fisik seperti rusaknya alat reproduksi, infeksi pada vagina atau anus, terjadi penyakit menular seperti HIV, herpes. Kemudian, dampak psikis trauma antara lain, pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan pada orang dewasa (betrayal), trauma secara seksual (traumatic sexualization), merasa tidak berdaya (powerlessness). Terakhir, dampak sosial mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sehingga menimbulkan rasa tidak percaya pada orang lain dan mengisolasi diri dari ruang sosial," bebernya.

Untuk itu, ini wajib menjadi perhatian semua pihak, guna mencegah terjadinya dampak terhadap korban terlalu jauh. Ia mengharapkan, korban ini dapat dibantu untuk menyembuhkan dari apa yang dialaminya terhadap kejadian kekerasan yang dialaminya. Dampak atau efek yang ditimbulkan memang sangat banyak terhadap korban yang dapat menimbulkan persoalan baru yang menyangkut pada masa depan korban. Permasalahan perlindungan korban kekerasan membutuhkan kerjasama lintas sektor, lintas profesi dan juga multidisiplin yang memusatkan keberpihakan kepada penyintas, serta orangtua, lembaga pendidikan formal dan non formal, komunitas sosial, pemerintah dan masyarakat untuk aktif melakukan upaya pencegahan dengan memberikan pendidikan seksual berjenjang sesuai dengan kelompok usia dan tingkat pendidikan.

"Muatan pendidikan seksual dapat diberikan dalam proses belajar di rumah, pembelajaran di kelas, orientasi siswa masuk sekolah dan sosialisasi pendidikan seksual lainnya. Pendidikan seksual dan informasi seputar permasalahan seksual harus diberikan kepada anak sedini mungkin. Pengenalan pendidikan seksual terhadap anak dapat diawali dengan memperkenalkan fungsi anggota tubuh. Seperti memperkenalkan anggota tubuh vital anak, anggota tubuh yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Sentuhan boleh dan sentuhan tidak boleh, serta pelukan aman dan pelukan membahayakan," jelasnya.

Lebih jauh ia memaparkan, pada anak usia dini diajarkan pula untuk berani berbicara tentang apa yang dialaminya dan orang tua juga harus intens memantau perkembangan anak. Pendidikan seks harus dilakukan berjenjang dan akan lebih komprehensif diberikan kepada anak usia remaja. Remaja merupakan fase anak mulai mengalami pubertas disertai perkembangan organ reproduksi. Dengan demikian remaja harus mendapatkan pendidikan yang akurat tentang seksualitas untuk mencegah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual. Pada fase ini anak juga perlu tahu bahwa orang tua bisa diajak berdiskusi menyangkut seksualitas. Selaku orang tua beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu memberikan informasi tentang bagian tubuh dan fungsinya, pubertas yang akan dialami, aktivitas seksual, kekerasan dan pelecehan seksual.

"Kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi apalagi dilakukan kepada perempuan dan anak karena ketimpangan relasi kuasa yang terjadi, sehingga menjadi tugas kita semua untuk memberikan ruang aman bagi perempuan dan anak. Dan ini bukan saja tugas pihak pemerintah dan orang tua, namun lintas sektoral dan lintas profesi, agar kekerasan seksual terhadap anak ini dapat cegah secara berkelanjutan," pungkasnya.

Sejauh ini, berdasarkan dari data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Bengkulu Utara mencatat ada sebanyak 28 kasus kekerasan perempuan dan anak terjadi sepanjang Januari 2023 hingga saat ini. Ini pun seperti diungkapkan oleh Kepala DPPPA Kabupaten BU, Solita Meida MPd melalui Kepala UPTD PPPA BU, Mimid Sarmidin mengatakan, dari 28 kasus yang terjadi tersebut dengan jumlah korban sebanyak 62 korban yang didominasi oleh anak-anak. Dengan rincian, 11 kasus pencabulan, 7 kasus persetubuhan, 4, kasus kekerasan fisik, 3 kasus inses (hubungan sedarah), 1 kasus KDRT dan 1 kasus tindak pidana perdagangan orang. (aer/prw)

Tag
Share