Tinggalkan Amerika untuk Gabung IDF, Eh, Pria Yahudi Ini Malah Masuk Islam

Michel yang dulunya polisi 'Israel' memilih memeluk Islam.-foto: net-
Kehidupannya mulai berubah ketika ia secara tidak sengaja terlibat dalam sebuah protes pro-’Israel’ di Yerusalem. Pada awalnya, ia berdiri bersama rekan-rekannya, tetapi sesuatu menarik perhatiannya.
Seorang wanita Palestina yang memegang Al-Quran di tengah protes itu, dengan ketenangan yang luar biasa.
“Saya melihatnya dan bertanya-tanya, bagaimana dia bisa begitu tenang di tengah kekacauan? Apa yang memberinya kekuatan?” ujar Michael.
Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi ketika ia bertugas menjaga sebuah protes. Seorang anak Palestina berusia 16 tahun ditangkap di depannya. Anak itu hanya membawa sebuah bendera Palestina, namun dituduh sebagai provokator.
“Saya melihat ketakutan di matanya. Dia bukan ancaman, dia hanya seorang anak,” kata Michael.
“Hatiku hancur. Anak itu ditangkap, sementara pelaku kekerasan dibiarkan,” kisahnya dengan getir.
Semua peristiwa dan kejadian itu mengguncang keyakinannya. Ia teringat cerita kakeknya tentang Holocaust, tentang bagaimana mereka diperlakukan tanpa belas kasihan. “Bagaimana saya bisa melupakan sejarah keluarga saya dan menjadi bagian dari sesuatu yang menindas orang lain?”
Dalam proses pencarian spiritualnya, Michael mulai mengalami mimpi-mimpi yang aneh. Ia merasa terjebak dalam dua dunia—antara keyakinan lamanya dan cahaya baru yang mulai menyelimuti hatinya.
Di tengah kebingungan ini, ia kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang berdekatan. Kehilangan itu menghantamnya dengan keras, membuatnya merasa semakin kosong. “Saya merasa seperti kehilangan segalanya. Tapi justru dalam kehampaan itu, saya mulai menemukan cahaya,” katanya.
Mengenal Islam dan Syahadat
Pertanyaan itu terus menghantui Michael. Ia mulai membaca tentang Islam, awalnya untuk memahami “musuh”. Tetapi semakin ia membaca, semakin ia merasa tertarik. Ia menemukan konsep ketauhidan, keadilan sosial, dan ketenangan batin yang ditekankan dalam ajaran Islam.
Melalui interaksi dengan kelompok mahasiswa Muslim di kampus, Michael mulai mempelajari Islam. Ia terpesona oleh ketenangan dan keteguhan mereka.
Ia mulai lebih sering mengunjungi masjid secara diam-diam. Di sana, ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di masjid, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aku tidak percaya Tuhan saat itu, tapi masjid mengisi kekosongan dalam diriku yang bahkan tidak aku sadari,” ungkapnya.