Gambaran Pemimpin Baru Indonesia
Pemimpin politik muslim.-Foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Jika keadaan rakyat suatu negeri doyan uang sogokan, tukang khianat, maka Allah akan memberi mereka para pemimpin dan wakil rakyat yang hobinya sama, begitu juga sebaliknya
وواجب نصب امام عدل بالشرع فاعلم لا بحكم العقل. فليس ركنا يعتقد في الدين ولا تزغ عن امره المبين. 《الشيخ ابراهيم اللقاني》
DALAM beberapa kitab Kalam dibahas tentang pengangkatan pemimpin negara. Meskipun isu ini merupakan furu’(ranting) dalam agama, tetapi para mutakallim memasukkan isu ini dalam pembahasan di antara bahasan-bahasan kalam.
Hal ini merupakan isyaroh bahwa meskipun isu ranting tetapi berkait langsung dengan hajat masyarakat banyak serta banyak orang tergelincir disebabkan isu ini akibat dibawa secara tidak tepat. Semoga 14 Februari 2024 menghasilkan pemimpin yang baik. Amin Ya Rabbal Alamin.
Demikian kutipan status Facebook Dr. Kholili Hasib M.Ud, Dosen di IAII Dalwa Bangil pada Ahad (11/02/24) di dinding akun Facebooknya.
Tulisan tersebut mengisyaratkan bahwa ihwal mengangkat pemimpin negara meskipun bukan merupakan wilayah ushul (pokok) dalam Islam namun merupakan sesuatu yang sangat penting.
Baca Juga: Muhammadiyah Ingatkan Pemenang Pemilu Berjiwa Kenegarawanan, Tidak Jumawa
Sehingga tidak berlebih jika para mutakallim memiliki perhatian besar terhadapnya.
Menurut Imam Al Mawardi, konsep kepemimpinan negara adalah instrumen penting untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.
Meskipun pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan jenis aktivitas yang berbeda, namun sebenarnya saling berintegrasi secara simbolik.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan kepada para pejabatnya bahwa, “Agama (Islam) dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Satu sama lain saling membutuhkan.” (Abdul Hayyi al-Kattani, Taratib al-Idariyah, 1/395).
Hal serupa pernah juga disampaikan oleh Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali yang mengatakan, “Agama (Islam) dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar. Keduanya lahir dari satu rahim yang sama.” (Al-Ghazali, Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, 1/19).
Melihat demikian pentingnya ihwal kepemimpinan, maka tidak mengherankan jika beberapa ulama kini banyak yang berijtihad terjun ke dalam tim pemenangan atau minimal mendukung secara terang-terangan pada calon tertentu dalam Pilpres tahun ini.
Mereka menyerukan kepada umat (santri, alumni, simpatisan, jamaah pengajian dll) untuk mendukung calon yang mereka perjuangkan.
Dalam pandangan ijtihad mereka, calon yang diperjuangkan adalah sosok yang minimal paling memenuhi kriteria pemimpin yang baik dalam pandangan agama yang mencakup bagusnya akhlak, cerdas, religius, tidak melanggar konstitusi seperti mengakali dan mengangkanginya demi kepentingan dinasti keluarga, jejak rekam bersih dst.
Kemudian perkara benar atau salahnya ijtihad tersebut, tentu waktu kelak yang akan membuktikan. Sebab tidak sedikit para calon pemimpin yang awalnya didukung mati-matian oleh umat yang mengikut titah Kyainya dan bahkan berani meneken pakta integritas yang disodorkan oleh beberapa ulama (Ijtima’).
Ulama untuk kelak diperjuangkan jika telah menjabat, nyatanya berkhianat dan berbelok arah perjuangan. Bahkan lebih ironisnya lagi malah memilih tunduk dan berada dalam satu barisan dengan kompetitornya dahulu.
Fenomena politisi kutu loncat dan bunglon adalah sebuah realita politik Indonesia hari ini, yakni politik pragmatis dimana prinsip tiada kawan dan lawan yang abadi sebab yang abadi adalah kepentingan belaka masih kuat dipegang.
Politik semacam inilah yang mengakibatkan banyak rakyat akhirnya terjangkit apatisme politik dan terjebak pada sistem politik transaksional. Sehingga tidak asing kita dengar obrolan di tengah masyarakat saat ini tentang nominal jumlah uang dan sogokan lainnya dari para peserta Pileg, Pilkada maupun Pilpres yang nantinya akan mereka jadikan pertimbangan dalam memberikan hak suaranya.
Maka tidak heran jika kemudian ada jargon sarkasme politik yang berbunyi, “Politicians and Diapers must be changed often, and for the same reason.”
Yang bermakna bahwa Politisi dan Pembalut harus sering diganti dan dengan alasan yang sama. Jika pembalut harus diganti ketika sudah penuh kotoran maka Politisi ketika sudah penuh “kotoran” atau sudah habis masa baktinya maka harus lekas diganti pula. Jargon bernas dan menohok itu sering berseliweran di media sosial menjelang pemilu di negeri-negeri Barat dan belakangan banyak juga dikutip oleh warganet Indonesia.
Ucapan tersebut banyak dinisbatkan kepada penulis Amerika Mark Twain. Namun hal ini dibantah oleh Robert H. Hirst, General Editor of the Mark Twain Project and Curator of the Mark Twain Papers yang mengatakan kepada Reuters via email, bahwa ucapan itu bukan dari Mark Twain dan hal itu adalah sebuah penyematan yang salah kepada Mark Twain atau dengan kata lain sebuah kebohongan.
Namun ucapan itu dengan kalimat yang agak berbeda juga sering diunggah seperti, “White House occupants come and go. They are just like diapers. They should be changed often, and for the same reasons” dan muncul juga dalam film ‘Man of the Year’ (2006) dimana Robin William dalam perannya di film tersebut pernah berkata, “Remember this ladies and gentlemen: It’s an old phrase, basically anonymous, politicians are a lot like diapers, they should be changed frequently, and for the same reasons. Keep that in mind the next time you vote.”
Melihat fenomena ini, dapat digambarkan secara sederhana bahwa realita politik pragmatis dan transaksional saat ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi negeri ini.
Dimana jika politik bersih yang diamanahkan oleh konstitusi tidak dijalankan maka tidak mustahil negeri ini kelak hanya tinggal nama. Artinya nama tetap Indonesia namun “isinya” adalah para kolonialis asing dan aseng dengan para penjilat pribumi sebagai “Londo Ireng” generasi baru yang merelakan dirinya sebagai budak.
Tentu lingkaran setan ini harus diputus dengan segera sebab sangat berbahaya bagi kelangsungan negara bangsa ini. Sebab di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman,
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS Al-‘An`ām: 129).
Al-Hafidz Al Imam As-Suyuthi saat menafsirkan ayat ini mencantumkan hadits yang berbunyi,
ﻛﻤﺎ ﺗﻜﻮﻧﻮا ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺆﻣﺮ ﻋﻠﻴﻜﻢ
“Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian.” (HR. Al-Baihaqi)
Menilik hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika keadaan masyarakat suatu negeri adalah berkebiasaan maksiat kepada Allah maka yang akan diberikan kepada mereka adalah pemimpin yang juga ahli maksiat.
Jika keadaan rakyat suatu negeri doyan uang sogokan maka para pemimpin dan wakil rakyat yang hobi rasuah dan korupsi akan diberikan kepada mereka. Jika rakyat suatu negeri suka berbohong dan khianat maka penguasa tukang kibul dan pelanggar konstitusi yang akan memerintah mereka.
Seorang ulama dari kalangan salaf, yakni A’masy pernah berkata,
ﺇﺫا ﻓﺴﺪ اﻟﻨﺎﺱ ﺃﻣﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺷﺮاﺭﻫﻢ
“Jika keadaan manusia sudah rusak maka yang jadi pemimpin adalah orang yang buruk.” (Tafsir Ad-Dur Al-Mantsur)
Dari penjelasan Al-Quran dan hadis tersebut seharusnya rakyat negeri ini sadar bahwa akhlak mereka adalah penentu kriteria pemimpin yang akan mereka dapatkan kelak. Inilah worldview Islam yang merupakan sebuah keniscayaan.
Malik bin Dinar Rahimahullah berkata,
مكتوب في التوراة : يقول الله تعالى : قلوب الملوك بيدي : فمن أطاعني جعلتهم عليه رحمة ، ومن عصاني جعلتهم عليه نقمة. فلا تشغلوا انفسكم بسبب الملوك ، وتوبوا إلي أعطفهم عليكم
“Tertulis di dalam Taurat bahwa Allah berfirman, Hati para penguasa ada di tangan Ku. Maka barangsiapa mentaati Ku, Aku jadikan para penguasa itu sebagai Rahmat atasnya, dan barangsiapa mendurhakai Ku maka Aku jadikan para penguasa itu sebagai siksa atasnya. Maka janganlah kalian sibuk (mencari-cari) sebab atas diri kalian terhadap (kedholiman) para penguasa tersebut. Bertobatlah kepada Ku maka Aku akan jadikan mereka bersikap lemah lembut kepada kalian.”
Taubat nasional inilah hal yang harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri ini jika ingin mendapatkan pemimpin yang baik. Dan seyogyanya taubat itu dilakukan mulai dari para Ulama nya lalu diikuti penguasa dan rakyat. Urutan (Maratib) ini sesuai dengan perkataan Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang berbunyi,
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”
Pada halaman lain di kitab yang sama Hujjatul Islam itu menulis,
ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان على كل حال
“Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terperdaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”
Ulama sebagai pembimbing umat tentu memiliki tanggung jawab besar untuk meluruskan kembali masyarakat dan membenahi akidah serta akhlak mereka.
Itupun dengan syarat si ulama adalah orang yang benar-benar terbebas dari cinta dunia yang merupakan sumber dari segala kesalahan. Ulama yang tidak bisa dibeli dan tangguh jika dibully yang dengan ketangguhan itu fatwa dan pemikiran mereka menjadi merdeka dan terlepas dari kepentingan lain selain kepentingan Allah.
Sebab ada alarm akhir zaman yang pernah diucapkan jauh hari oleh Sahabat Abu Dzar Radiyallahu Anhu yang berbunyi,
سيأتي على الناس زمان تكون اعطيتهم من الولاة أثمان أديانهم
“Akan datang atas manusia zaman dimana adanya pemberian dari para penguasa adalah (nilai) harga dari agama mereka (manusia).”
Dari sini harusnya serangan fajar, money politics, dan politisasi bansos bisa ditolak oleh semua lapisan masyarakat agar Allah berkenan memberikan pemimpin yang amanah sesuai janji Nya dan muru’ah agama tetap terjaga sebab ia tidak bisa dinilai dengan nominal uang berapapun.
Wal hasil selamat memilih pemimpin baru. Gunakan hak pilih dengan bijak, niatkan untuk memilih sosok yang semoga bisa diamanahi untuk menjaga kedaulatan negara, memakmurkan rakyat, dan menegakkan kemuliaan agama yang akhirnya cita-cita menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur benar-benar bisa terwujud.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip pernyataan dari pengamat politik “akal sehat” alias Rocky Gerung yang mengatakan, “Salah pilih itu sial, bertahan dengan pilihan yang salah itu dungu, sudah sial dungu pula..” Wallahu A’lam Bis Showab. (*)