Kita Bukan Hamba Ramadan

Dr. Iffatul Umniati Ismail, Lc., M.A.-foto: net-
"Bukan Ramadhan yang membuatmu dekat kepada Allah, tetapi hatimu yang tunduk dan amalmu yang terus-menerus setelahnya."
Maka pertanyaannya bukan lagi "apa yang kita lakukan selama Ramadhan?", tapi "apa yang kita bawa setelah Ramadhan berlalu?".
Syekh Ali Jum'ah, juga pernah berkata:
"Orang yang hanya taat pada Ramadhan, seperti pedagang yang membuka toko hanya satu bulan dalam setahun, lalu berharap untung besar. Ia sedang tertipu oleh semangat sesaat, bukan dibimbing oleh cinta kepada Allah."
Keteladanan Sahabat: Takut Ramadhan Berakhir
Para sahabat Rasulullah SAW. memberikan contoh yang sangat dalam tentang bagaimana mereka menyikapi Ramadhan. Mereka tidak hanya bersemangat di awal, tetapi juga menangis di akhir. Bukan karena sedih harus kembali makan siang, tapi karena khawatir amal mereka tidak diterima.
Selama enam bulan setelah Ramadhan, mereka terus memohon kepada Allah agar amal mereka diterima. Dan selama enam bulan berikutnya, mereka kembali berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan yang akan datang. Sebuah siklus spiritual yang tidak berhenti, yang menggambarkan bahwa Ramadhan adalah bagian dari kehidupan keimanan yang berkelanjutan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar penting dalam pendidikan ruhani. Konsistensi lebih berharga daripada intensitas sesaat. Dua rakaat di tengah malam secara rutin lebih utama dari seratus rakaat yang hanya dilakukan di malam ganjil Ramadhan, lalu dilupakan.
Ibadah sebagai Jalan Pulang
Dalam dunia yang serba cepat dan bising, ibadah seharusnya menjadi jalan pulang. Ia bukan beban, bukan rutinitas kosong, melainkan ruang tenang tempat kita bertemu kembali dengan makna keberadaan. Jika selama Ramadhan kita bisa menahan lapar, mengatur emosi, dan meluangkan waktu untuk Al-Qur'an, mengapa itu semua harus berakhir hanya karena kalender berganti?
Setan memang kembali dibebaskan setelah Ramadhan, tapi bukankah kita telah dibekali benteng-benteng keimanan selama sebulan penuh? Bukankah kita telah dilatih menjadi pejuang yang sadar diri? Maka Ramadhan seharusnya meninggalkan bekas. Jika tidak, mungkin yang kita nikmati selama ini hanyalah suasana, bukan substansi.
Tetap Istiqamah di Luar Ramadhan
Lalu, bagaimana menjaga semangat ibadah setelah Ramadhan?