Kita Bukan Hamba Ramadan

Dr. Iffatul Umniati Ismail, Lc., M.A.-foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Ramadan selalu datang dengan pesona yang tak tergantikan. Ia mengetuk pintu-pintu hati yang mungkin telah lama tertutup oleh kesibukan dunia. Ia menyuguhkan nuansa langit yang berbeda-di mana malam-malam menjadi hidup, dan siang menjadi ruang latihan bagi kesabaran.
Tapi selalu ada ironi yang berulang: saat Ramadhan datang, semangat ibadah begitu tinggi; namun begitu ia pergi, semangat itu turut menghilang. Masjid kembali sepi, mushaf kembali tertutup, dan malam kembali sunyi.
Pasca Ramadhan, banyak orang kembali pada kebiasaan lama: shalat kembali terburu-buru, Al-Qur'an kembali berdebu, dan hati kembali tertutup dari rasa khusyuk. Seolah-olah taat hanya berlaku pada bulan tertentu.
Bahkan sebagian merasa "bebas" setelah Ramadhan usai, seakan Ramadhan adalah penjara dan syawal adalah pembebasan. Ini adalah gejala serius. Ketika ibadah tidak lagi menjadi kebutuhan ruhani, melainkan sekadar rutinitas semusim, di situlah iman mulai mengering.
Lalu kita bertanya, untuk siapa sebenarnya semua itu dilakukan? Apakah kita beribadah karena Allah, atau karena suasana Ramadhan? Jika ibadah hanya tumbuh ketika Ramadhan tiba, barangkali yang kita sembah bukan lagi Allah, tapi suasana Ramadhan itu sendiri. Di sinilah kita perlu merenung dalam: apakah kita hamba Allah, atau hanya hamba Ramadhan?
Fenomena Musiman dan Krisis Spiritualitas
Fenomena keagamaan yang musiman sebenarnya bukan hal baru. Di banyak masyarakat beragama, antusiasme spiritual sering bergantung pada momen-momen besar: Ramadhan, Idul Fitri, Maulid, atau bahkan saat bencana datang. Namun setelah suasana berlalu, ruh keagamaan kembali melemah. Ibadah menjadi ritual formal, atau bahkan ditinggalkan.
Padahal, Allah menegaskan dalam Al-Qur'an:
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين. (الحجر: 99)
"Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu al-yaqīn (kematian)." (QS. Al-Ḥijr: 99)
Ayat ini adalah deklarasi spiritual: ibadah adalah jalan panjang tanpa ujung kecuali ajal. Kita tidak berhenti beribadah hanya karena Ramadhan usai. Justru Ramadhan hadir untuk meneguhkan langkah kita di jalan ibadah sepanjang hayat.
Ramadhan Sebagai Madrasah, Bukan Tujuan
Ramadhan adalah madrasah jiwa. Ia bukan tujuan akhir, melainkan proses pembentukan. Kita ditempa untuk kembali mengenal diri, mengenali batas-batas hawa nafsu, dan menajamkan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Tapi nilai sebuah proses tidak diukur dari seberapa khusyuk kita di dalamnya, melainkan seberapa banyak perubahan yang kita bawa keluar darinya.
Syekh Muhammad al-Ghazali, ulama besar Al-Azhar, pernah menyampaikan: