Senator Filep Soroti Insiden 40 Siswa Keracunan Seusai Makan Bergizi Gratis, Simak
Ketua Komite III DPD RI Dr. Filep Wamafma. -Foto: Humas DPD RI-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Sebanyak 40 siswa SDN Dukuh 03, Desa Dukuh, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah mengalami insiden keracunan seusai menyantap menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi pada 16 Januari 2025.
Para siswa mengalami gejala seperti pusing, mual, dan muntah setelah mengonsumsi ayam marinasi yang disajikan bersama dengan nasi, sayur bening, tempe goreng, buah pisang, dan susu cair.
Kepala Puskesmas Sukoharjo Kota, Kunari Mahanani mengonfirmasi bahwa ayam yang disajikan tidak matang dengan sempurna.
Hal ini juga diakui oleh Kodim 0726 Sukoharjo yang bertanggung jawab sebagai pengelola Satuan Pelaksanaan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Kejadian ini mendapat tanggapan serius dari Ketua Komite III DPD RI Dr. Filep Wamafma.
Dia menekankan pentingnya keamanan pangan yang disajikan melalui program pemerintah tersebut.
Senator Filep, secara yuridis, Program MBG yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 memang belum memiliki regulasi yang lebih rinci atau aturan khusus terkait pelaksanaan teknis dan pengawasannya.
Adapun pemenuhan standar gizi, keamanan dan kualitas makanan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, lembaga terkait serta pihak yang menyediakan makanan tersebut.
“Dalam konteks insiden keracunan siswa ini, peraturan terkait perlindungan konsumen dan keamanan pangan harus diterapkan secara ketat,” ujar Senator Filep.
Apalagi, kata dia, di sisi hukum Pasal 41 Ayat (1) PP 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan telah melarang mengedarkan pangan yang tercemar. Insiden keracunan ini mengindikasikan bahwa makanan yang diberikan kepada siswa tercemar atau mengandung bahan yang membahayakan kesehatan, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap regulasi tersebut.
“Maka, semua pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan MBG harus memastikan hal ini, juga BPOM berperan sangat vital,” ujar Filep dalam keterangan yang diterima pada Sabtu (18/1/2025).
Filep lantas memberikan pandangannya dari sisi tata kelola kebijakan.
Menurut Senator Filep, program MBG yang melibatkan distribusi makanan bergizi dari 190 dapur di seluruh Indonesia harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan standar yang ketat.
Dia mengatakan struktur kelembagaan yang jelas dan kapasitas teknis yang memadai menjadi unsur penting dalam tata kelola kebijakan dalam rangka memitigasi insiden seperti di Sukoharjo.
“Dalam insiden itu pada pelaksanaan awal terdapat kelemahan dalam penerapan standar higienitas dan prosedur pengolahan makanan. Ini sangat krusial, ketidaksesuaian dalam implementasi prosedur yang berlaku dapat mengarah pada kontaminasi pangan atau risiko kesehatan yang besar. Pengadaan makanan dalam jumlah besar untuk program seperti MBG perlu penyedia yang tersertifikasi dan berpengalaman dalam menjaga kualitas dan keamanan pangan,” ujar Filep.
Sebagai pembanding, Filep menyampaikan sebuah studi oleh Afridi, Barooah, dan Somanathan yang menunjukkan bahwa penguatan kapasitas di tingkat daerah menjadi kunci keberhasilan program distribusi pangan di India dan China.
Hal ini mengindikasikan sebelum mengimplementasikan program MBG secara nasional, pemerintah Indonesia perlu fokus pada penguatan kapasitas kelembagaan dan infrastruktur di tingkat daerah untuk memastikan efektivitas dan akuntabilitas program.
Lebih lanjut, Senator Papua Barat itu memberikan sejumlah rekomendasi upaya-upaya yang dapat dilakukan pemerintah terkait realisasi program MBG di daerah.
“Pertama, penguatan regulasi. Perlu sebagai landasan hukum yang jelas dalam pelaksanaan program MBG. Regulasi ini harus mencakup aspek standar keamanan pangan, mekanisme pengawasan, tata kelola anggaran dan distribusi serta tindakan penyelesaian apabila terjadi permasalahan MBG,” ujar Senator Filep.
Dia mengatakan regulasi harus menetapkan standar yang jelas untuk setiap tahap, mulai dari pengolahan hingga penyajian makanan serta dapat mengadopsi standar internasional yang diakui tetapi juga relevan dengan kondisi di Indonesia.
“Kedua, pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap seluruh tahapan pelaksanaan program MBG, termasuk pengolahan, distribusi, dan penyajian makanan. Makanan yang disajikan di lokasi penerima manfaat harus diperiksa kembali untuk memastikan tidak ada perubahan kualitas yang dapat menyebabkan risiko kesehatan. BPOM perlu terlibat secara aktif dalam melakukan pengujian laboratorium terhadap setiap menu makanan sebelum didistribusikan,” katanya.
Selanjutnya, yang ketiga yakni evaluasi Kualifikasi Penyedia Makanan yang bila perlu wajib memiliki sertifikasi yang menunjukkan bahwa mereka memahami dan menerapkan standar keamanan pangan, seperti Sistem Manajemen Keamanan Pangan (ISO 22000) atau sertifikat dari BPOM, atau bila perlu HACCP.
“Penyedia makanan harus memiliki pengalaman dalam menangani pengolahan dan penyajian makanan dalam skala besar dengan kualitas yang terjamin. Pemerintah harus melakukan evaluasi dan audit secara berkala terhadap penyedia makanan untuk memastikan mereka mematuhi standar yang ditetapkan. Audit ini mencakup pemeriksaan fasilitas, proses produksi serta kualitas bahan baku. Bagian ini sangat penting,” katanya.
“Keempat, peningkatan Edukasi dan Sosialisasi. Sosialisasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap aspek pengolahan, distribusi, dan konsumsi makanan dilakukan dengan aman,” ujar Filep.
Menurut Filep, keamanan pangan bukan hanya tanggung jawab penyedia makanan atau pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, termasuk pihak sekolah, orang tua, dan siswa.
“Sosialisasi yang efektif dapat membantu mencegah insiden keracunan makanan dan meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kualitas pangan, jadi hal ini sangat perlu dilakukan,” pungkas Senator Filep. (jp)