RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Sekretartis Daerah (Sekda) Provinsi Maluku Utara (Malut) Samsudin Abdul Kadir, Senin (19/2).
Samsudin akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Malut dengan tersangka Gubernur nonaktif Malut Abdul Ghani Kasuba (AGK).
"Hari ini bertempat di Gedung Merah Putih KPK, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara Samsudin Abdul Kadir," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (19/2).
Penyidik KPK juga memanggil Inspektorat Provinsi Malut Nirwan M.T. Ali, serta pegawai negeri sipil (PNS) Malut Jufri Salim, pensiunan PNS Muabdin Hi Rajab, pihak swasta Olivia Bachmid dan Silvester Andreas serta Direktur Utama PT. Adidaya Tangguh Eddy Sanusi.
Baca Juga: Genjot Produksi Padi dan Jagung Nasional, Kementan Siapkan SDM Unggul
Hanya saja, Ali Fikri belum memberikan keterangan lebih lanjut soal informasi apa saja yang akan didalami oleh tim penyidik lembaga antirasuah dalam pemeriksaan tersebut.
Sebelumnya, KPK menetapkan AGK sebagai tersangka suap proyek pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di lingkungan Pemprov Malut.
Penyidik KPK juga menahan AGK dan lima orang lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka pada 20 Desember 2023.
Para tersangka lainnya, yakni Kadis Perumahan dan Pemukiman Pemprov Maluku Utara Adnan Hasanudin (AH), Kadis PUPR Pemprov Maluku Daud Ismail (DI), Kepala BPPBJ Pemprov Maluku Utara Ridwan Arsan (RA), ajudan gubernur Ramadhan Ibrahim (RI), serta pihak swasta Stevi Thomas (ST) dan Kristian Wuisan (KW).
Adapun konstruksi perkara yang menjerat Abdul Ghhani Kasuba dan para tersangka lainnya berawal saat Pemprov Maluku Utara melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan anggarannya bersumber dari APBD.
AGK dalam jabatannya selaku gubernur Maluku Utara ikut serta dalam menentukan siapa saja dari pihak kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek pekerjaan tersebut.
Untuk menjalankan misinya tersebut, AGK kemudian memerintahkan AH selaku Kadis Perumahan dan Pemukiman, DI selaku Kadis PUPR dan RA selaku Kepala BPPBJ untuk melaporkan soal berbagai proyek yang akan dikerjakan di Provinsi Maluku Utara.
Adapun besaran berbagai nilai proyek infrastruktur jalan dan jembatan di Pemprov Maluku Utara mencapai pagu anggaran lebih dari Rp 500 miliar, di antaranya pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, serta pembangunan jalan dan jembatan ruas Saketa-Dehepodo. Dari proyek-proyek tersebut, AGK kemudian menentukan besaran yang menjadi setoran dari para kontraktor.
Selain itu, AGK juga sepakat dan meminta AH, DI dan RA untuk memanipulasi progres pekerjaan seolah-olah telah selesai di atas 50 persen agar anggaran dapat segera dicairkan.
Di antara kontraktor yang dimenangkan dan menyatakan kesanggupan memberikan uang, yaitu KW dan ST. Keduanya juga telah memberikan uang kepada AGK melalui RI untuk pengurusan perizinan pembangunan jalan oleh perusahaannya.
Teknis penyerahan uang dilakukan secara tunai maupun rekening penampung dengan menggunakan nama rekening bank atas nama pihak lain maupun pihak swasta. Inisiatif penggunaan rekening penampung ini adalah hasil ide antara AGK dan RI.
Buku rekening dan kartu ATM tetap dipegang oleh RI sebagai orang kepercayaan AGK. Sebagai bukti permulaan awal, terdapat uang yang masuk ke rekening penampung sejumlah sekitar Rp 2,2 miliar.
Uang-uang tersebut kemudian digunakan di antaranya untuk kepentingan pribadi AGK berupa pembayaran menginap hotel dan pembayaran dokter gigi.
Atas perbuatannya, tersangka ST, AH, DI dan KW sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tersangka AGK, RI dan RA sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (jp)