Lantas, bagaimana seharusnya keseimbangan antara keduanya dijaga? Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan hangat dan belum menemukan solusi yang mudah.
Di satu sisi, pemerintah memiliki hak untuk mengatur konten yang beredar di wilayahnya.
Di sisi lain, pemblokiran atau pembatasan akses terhadap platform media sosial dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi.
Menemukan solusi ideal bukanlah hal yang mudah. Diperlukan dialog dan kerjasama yang konstruktif antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil untuk mencapai keseimbangan yang adil dan bijaksana.
Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:
Pentingnya regulasi yang transparan dan akuntabel: Pemerintah perlu menyusun regulasi yang jelas dan transparan terkait konten di media sosial, dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Pendekatan dialogis: Dialog yang konstruktif antara pemerintah dan platform media sosial sangat penting untuk menemukan solusi yang win-win solution.
Peran aktif masyarakat sipil: Masyarakat sipil perlu berperan aktif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dan platform media sosial, serta mendorong terciptanya ruang digital yang sehat dan demokratis.
Masa depan Twitter di berbagai negara masih penuh dengan ketidakpastian. Upaya pemerintah untuk menjinakkan platform ini akan terus berlanjut, dan keseimbangan antara kontrol dan kebebasan berekspresi akan terus diuji.
Apakah Twitter akan tunduk pada tekanan pemerintah?
Atau akankah platform ini tetap teguh pada komitmennya terhadap kebebasan berekspresi?
Jawabannya masih abu-abu, dan hanya waktu yang bisa menjawabnya.(*)