Menghidupkan Kembali Budaya Riset Islam
Budaya Riset Islam.-Foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Dalam panggung sejarah, peradaban Islam pernah menjadi pusat keilmuan dunia dengan kontribusi signifikan dalam bidang sains, teknologi, dan keilmuan lainnya yang didorong oleh budaya riset yang kuat.
Dari abad ke-8 hingga ke-14, budaya penelitian dan literasi yang dinamis berkembang di dunia Islam. “Zaman Keemasan” (golden age) ini menghasilkan penemuan dan kemajuan inovatif di berbagai bidang, serta meletakkan dasar bagi revolusi ilmiah modern.
Kekayaan literatur, yang bersumber dari terjemahan karya-karya klasik Yunani, Persia dan India, dan kemudian diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman oleh para cendekiawan muslim saat itu, serta adanya dukungan pendanaan besar dan iklim ilmiah yang diberikan oleh penguasa Muslim pada masanya, semakin memperkuat fondasi budaya riset dalam peradaban Islam, serta mengahilkan produk sains dan teknologi yang unggul.
Namun, seiring berjalannya waktu, budaya riset dan literasi dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Faktor-faktor seperti penjajahan, kekacauan politik, dan stagnasi intelektual telah menyebabkan Islam tertinggal dalam hal riset dan literasi.
Baca Juga: Hasto Diperiksa Polisi, Megawati Tertawa Lalu Bicara Pengalaman
Bahkan hingga saat ini, banyak negara-negara Muslim masih menghadapi tantangan besar dalam membangun infrastruktur riset yang kuat, meningkatkan kualitas pendidikan, dan mempromosikan budaya literasi yang inklusif dan berkesinambungan.
Realitas seperti ini, membuat banyak kalangan, terutama kaum cerdik pandai saat ini merenung, sebab selama ini hanya mampu becerita tentang kejayaan masa lalu. Dan pada saat yang bersamaan juga mengajukan sejumlah pertanyaan kritis – bagaimana Islam mencapai ketinggian seperti itu dalam budaya riset, dan pelajaran apa yang bisa dipetik untuk menyalakan kembali semangat ini di dunia kontemporer?
Menumbuhkan Budaya Penelitian
Secara garis bessar, dasar penelitian Islam terletak pada Quran itu sendiri, sebuah teks yang berulang kali menekankan pentingnya pengetahuan dan refleksi (Al-Quran 31:29, 27:86, 4:94). Demikian juga dengan pemahaman tentang Surat Al-Alaq ayat-1, sebagai wahyu pertama yang turun dengan perintah untuk membaca, dimana membaca dalam hal ini juga diartikan tidak hanya ayat qouliyyah, tetapi juga membaca ayat qauniyyah, dan dalam hal ini erat kaitannya dengan riset dan penelitian.
Sehingga, riset bukan sekedar untuk riset dalam arti sekedar menambah pengetahuan semata, melainkan selain itu adalah untuk mengenal dan memahami ciptaan Allah. Berangkat dari pemahaman itu, maka kegiatan tersebut diharapkan akan memiliki makna mulia, yaitu sebagai jalan (wasilah) mengenal dzat yang Maha menciptakan.
Dengan berbasiskan al-Qur’an itu, cendekiawan Muslim pada masanya memiliki motivasi dan semangat untuk terus meniliti, sehingga secara aktif mencari pengetahuan dari berbagai sumber, termasuk menggali tradisi keilmuan dari karya-karya dari bangsa Yunani, Persia, dan India (Robinson, 2003). Khususnya, di era Kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M), aktifitas ilmiah ini memainkan peran penting dalam membangun budaya penelitian.
Sehingga, Khalifah seperti Harun al-Rashid dan Al-Ma’mun memberikan perlindungan kepada para sarjana, ilmuan dan penerjemah dengan memberikan beasiswa dan imbalan yang memadai bagi ilsangat memadai, mendirikan perpustakaan dan institusi seperti Rumah Kebijaksanaan (Bayt al-Hikmah) di Baghdad (Lewis, 2008). Lembaga-lembaga ini mendorong pertukaran intelektual dan kolaborasi, memungkinkan penelitian yang inovatif dalam matematika, biologi, astronomi, kedokteran, teknik dan lain sebagainya.
Merintis Riset dan Inovasi
Eksistensi cendekiawan Muslim selama zaman Keemasan Islam telah memberikan kontribusi signifikan ke berbagai bidang. Matematikawan seperti Al-Khwarizmi merevolusi aljabar, sementara astronom seperti Ibn al-Haytham (Alhazen) meletakkan dasar untuk optik. Dalam kedokteran, para sarjana seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ar-Razi (Rhazes) menghasilkan risalah medis komprehensif yang mempengaruhi pengobatan Eropa selama berabad-abad (Haq, 2009).
Semangat untuk melakukan riset ini meluas ke bidang lain juga, dengan karya perintis Ibn Khaldun dalam historiografi dan kemajuan Ibn al-Nafis dalam teori kardiovaskular menjadi contoh utama (Makdisi, 1999). Era ini juga menyaksikan kemajuan dalam bidang teknik, dengan penemuan seperti astrolabe dan kincir angin yang menunjukkan penerapan praktis dari pengetahuan ilmiah (Saliba, 1994). Ciri khas dari penelitian ini adalah penekanan pada observasi yang cermat, eksperimen, dan pencatatan temuan, praktik yang meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern.
Penurunan dan Penyebabnya: Hilangnya Momentum
Beberapa faktor berkontribusi terhadap penurunan penelitian Islam setelah abad ke-16. Ketidakstabilan politik, stagnasi ekonomi, dan pergeseran ke arah ortodoksi agama mengurangi semangat penyelidikan intelektual (Makdisi, 1999). Lembaga pendidikan menjadi lebih fokus pada hafalan daripada pemikiran kritis dan eksplorasi ilmiah. Mesin cetak, teknologi yang dipelopori di Cina, tidak diadopsi secara luas di dunia Islam, menghambat penyebaran pengetahuan (Robinson, 2003).
Disisi lain, dalam waktu yang cukup lama Peradaban Islam mengalami penurunan dalam bidang riset dan literasi. Faktor-faktor seperti invasi Mongol, perang salib dan berlanjut perang-perang berikutnuya, penjajahan, stagnasi intelektual, dan ketidakstabilan politik di dunia Islam menjadi penghambat utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Budaya riset dan literasi mulai ditinggalkan, sehingga secara gradual umat Islam menjadi tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari kondisi dan stagnasi ini, kemudian memungkinkan Eropa untuk bangkit dari dark age (masa kegelapan) dan mulai memimpin dalam kemajuan ilmiah, mengantarkan revolusi ilmiah dan memicu lahirnya sains dan teknologi modern.
Peta Jalan untuk Masa Depan
Eksistensi penelitian Islam sesungguhnya sangat kaya, sekaligus menawarkan pelajaran berharga bagi dunia Muslim kontemporer. Kini, saatnya umat Islam dapat menyalakan kembali semangat riset dan literasi, dengan beberapa hal berikut ini :
Pertama, Memodernisasi Sistem Pendidikan: Kurikulum pendidikan perlu merubah kebijakannya tidak hanya berfokus pada hafalan, akan tetapi juga dibarengi dengan menekankan pemikiran kritis, metodologi penelitian, dan literasi sains. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan proyek-proyek penelitian, mendorong risert yang melibatkan siswa, dan menumbuhkan budaya untuk melakuan inovasi.
Kedua, Berinvestasi dalam Infrastruktur Penelitian: Pemerintah dan lembaga swasta dapat memainkan peran penting dalam membangun pusat penelitian dan universitas yang lengkap, menarik para sarjana unggulan dan mendorong kolaborasi lintas disiplin ilmu, untuk memberikan kesempatan untuk lebih maju bagi sarjana muslim. Selain itu juga memberikan insentif yang memadai bagi para periset yang ada.
Ketiga, Mempromosikan Budaya Riset: Institusi keagamaan dan keberadaan cendekiawan muslim mempunyai peran penting. Sehingga, perlu dilakukan dengan menekankan pentingnya budaya bertanya, bereksperimen, dan inovasi dalam kerangka prinsip Islam, sehingga dapat menjembatani kesenjangan antara sains dan agama. Pada saat yang bersamaan juga diciptakan lingkungan yang kondusif untuk melakukan riset.
Keempat, Mengadopsi Teknologi: Dunia Muslim perlu merangkul teknologi modern dan memanfaatkannya untuk penyebaran pengetahuan, kolaborasi penelitian, dan komunikasi ilmiah. Hal ini termasuk membangun platform online untuk berbagi temuan penelitian, memanfaatkan alat digital untuk analisis data, dan membina kemitraan penelitian internasional.
Langkah-langkah ini harus didukung oleh komitmen politik yang kuat dan kerjasama antar seluruh elemen Muslim untuk saling bertukar pengetahuan, sumber daya, dan pengalaman.
Kesimpulan
Kehadiran sejarah riset Islam berfungsi sebagai pengingat kuat akan kekuatan transformatif penelitian ilmiah. Dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Zaman Keemasan hingga masa penurunan serta tantangan yang dihadapi saat ini, umat Islam dapat mengambil langkah konkret untuk menyalakan kembali semangat ini. Dengan memprioritaskan penelitian, menumbuhkan budaya keingintahuan intelektual, dan merangkul teknologi baru, dunia Muslim dapat sekali lagi menjadi pemimpin dalam eksplorasi ilmiah dan intelektual untuk menguasai lagi panggung sejarah dunia dalam biudang sains dan teknologi.
Akhirnya, dengan mengembalikan budaya riset dan literasi yang kuat, dunia Islam dapat kembali menjadi pusat keilmuan yang berpengaruh dan memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Melalui pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, Islam dapat kembali menjadi rujukan utama dalam bidang sains, teknologi, dan keilmuan lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kejayaannya di masa lampau. (*)