Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh
Ilustrasi perceraian.-Foto: net-
Kedua, Islam memiliki sistem ekonomi yang menyeimbangkan tanggung jawab dan kesejahteraan. Negara berkewajiban menjamin setiap kepala keluarga mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan dasar. Zakat, infak, dan distribusi kekayaan dalam Islam berfungsi menutup kesenjangan sosial yang sering menjadi sumber pertengkaran rumah tangga.
Ketiga, sistem pendidikan Islam menanamkan ketakwaan dan tanggung jawab sejak dini. Anak dididik bukan hanya agar cerdas, tapi juga berakhlak. Mereka diajarkan pentingnya menghormati orang tua, memuliakan pasangan hidup, dan menjaga kehormatan diri. Dengan begitu, generasi muda akan siap membina keluarga yang kuat, bukan sekadar menikah karena dorongan emosional.
Keempat, negara berperan aktif menjaga moral masyarakat. Dalam sistem Islam, negara tidak membiarkan arus pergaulan bebas, pornografi, dan gaya hidup bebas merusak sendi-sendi keluarga. Kebijakan sosial diarahkan untuk menjaga kesucian hubungan antara laki-laki dan perempuan, bukan sebaliknya. Dengan demikian, masyarakat terlindungi dari penyimpangan yang bisa menghancurkan keluarga dari dalam.
Penerapan syariat Islam bukan hanya soal hukum nikah atau cerai, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan. Sistem ekonomi, pendidikan, dan sosial harus berjalan selaras dengan nilai-nilai Islam agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi ketahanan keluarga.
Ketika syariat diterapkan secara kaffah (menyeluruh), perceraian akan menjadi hal yang sangat jarang terjadi. Bukan karena dipersulit, tetapi karena setiap individu memahami makna tanggung jawab dan keutamaan menjaga rumah tangga. Suami istri tidak lagi melihat pernikahan sebagai beban, melainkan ladang pahala.
Negara pun berperan bukan sekadar pencatat pernikahan, melainkan pelindung kesejahteraan keluarga. Masyarakat akan hidup dalam budaya yang menghormati lembaga pernikahan, bukan merendahkannya. Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang hangat dan beriman, siap melanjutkan estafet kehidupan dengan karakter yang kuat.
Perceraian yang marak saat ini bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan rusaknya sistem kehidupan yang kita anut. Selama aturan Allah disisihkan, selama agama dianggap urusan pribadi, maka keruntuhan keluarga dan rapuhnya generasi akan terus berulang.
Sudah saatnya kita melakukan perubahan mendasar: kembali menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, bukan hanya simbol keagamaan. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama dan dengan masyarakat.
Membangun kembali keluarga berarti membangun kembali peradaban. Dan peradaban yang kuat hanya bisa berdiri di atas fondasi keluarga yang kokoh — keluarga yang dibangun atas dasar iman, dijaga oleh hukum Allah, dan dinaungi oleh sistem yang adil. Itulah satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera dan generasi yang tangguh. Wallahu a’lam bisswab. (net)