“Pecah Belah 2.0”: Kolonialisme Dunia Islam dengan Wajah Senyum

Persatuan umat bukan nostalgia sejarah, melainkan strategi bertahan hidup di tengah penjajahan modern yang datang lewat utang, narasi, dan keserakahan global.-Foto: net-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - IA DATANG dengan jubah Arab dan senyum yang menawan. Thomas Edward Lawrence — lebih dikenal sebagai Lawrence of Arabia — menulis puisi tentang padang pasir, minum teh bersama para kabilah, dan tampak seolah mencintai bangsa Arab lebih dari bangsanya sendiri. Tapi di balik romantisme itu, ada peta besar yang sedang digambar: peta perpecahan dunia Islam.

Lawrence bukan sekadar petualang Inggris yang terpesona oleh Timur. Ia adalah perwira dan diplomat yang tahu cara memecah kekuatan dari dalam.

Melalui “Revolusi Arab” 1916, ia meyakinkan Syarif Hussein dari Hijaz untuk memberontak pada Khilafah Usmaniyah (Kekaisaran Ottoman) — sebuah langkah yang menjadi awal dari berantainya politik divide et impera di Timur Tengah.

Seratus tahun berlalu, tapi jejak Lawrence masih terasa. Kini ia hadir dalam bentuk baru: para analis, diplomat, dan influencer yang memuji budaya Timur hanya untuk menanam bibit perpecahan baru.

Ada yang menyanjung bangsa Kurdi agar memisahkan diri dari Arab; ada yang menyanjung kaum Druze agar menjauh dari Kurdi. Setiap kelompok dipuji agar merasa istimewa — dan pada akhirnya, tercerai berai.

Inilah politik pecah-belah berlapis: strategi yang mengubah satu tubuh besar menjadi serpihan-serpihan kecil yang mudah dikendalikan.

Perpecahan dari Dalam Tubuh Sendiri

Ironisnya, umat Islam kini tak butuh Lawrence untuk saling curiga. Perbedaan mazhab, fiqih, hingga orientasi politik berubah menjadi bahan bakar konflik.

Media sosial menjadi arena fatwa-war, tempat setiap kelompok menuduh yang lain sesat, sementara musuh bersama menonton dengan tenang.

Padahal Al-Qur’an sudah memperingatkan: “Janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfal: 46).

Peringatan ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan strategi geopolitik. Umat yang lemah karena perpecahan akan menjadi objek kekuasaan, bukan subjek sejarah.

Dulu penjajahan datang dengan senjata. Kini, ia datang lewat ekonomi.

Sistem global hari ini melahirkan apa yang bisa disebut serakahnomics — ekonomi keserakahan yang menguntungkan segelintir elite global dan menindas mayoritas.

Dunia Islam, dengan kekayaan energi dan sumber dayanya, kembali menjadi sasaran eksploitasi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan