Pakar Hukum Sarankan Polda Metro Terbitkan SP3 Untuk Firli Bahuri, Ini Alasannya

Firli Bahuri. -Foto: net-

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menilai pengembalian Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) perkara dugaan pemerasan mantan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Sahrul Yasin Limpo (SYL) oleh jaksa peneliti pada Kejati DKI Jakarta menunjukkan kegagalan penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) memenuhi petunjuk jaksa.

Oleh sebab itu, Prof Suparji menyarankan penyidik PMJ mengeluarkan SP3 atas kasus Firli Bahuri, karena tidak memenuhi alat bukti materiil.

“Kalau memang tidak ditemukan alat bukti atau tidak cukup alat bukti, konsekuensinya perkara ini dihentikan,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (4/1).

Dia menjelaskan ada tiga hal yang menjadi alasan SP3 diterbitkan, yakni tidak cukup alat bukti, bukan peristiwa pidana, penyidikan dihentikan demi hukum karena kadaluarsa atau tersangkanya meninggal dunia.

Baca Juga: Terlibat Narkoba-Penipuan, 2 Anggota Polres Bogor Dipecat

“Dalam kasus Firli Bahuri, kalau tidak cukup alat bukti, ya konsekuensinya perkara ini harus dihentikan,” ujar dia.

Menurut dia, Kejati DKI Jakarta mengembalikan SPDP kepada penyidik PMJ, karena tidak ada kelanjutan dari petunjuk-petunjuk sebelumnya. Sehingga, jaksa tidak mau terbebani perkara ini.

Selain itu, Suparji juga menilai pengembalian SPDP oleh Kejaksaan kepada penyidik menunjukkan adanya pelambanan dalam memenuhi petunjuk dari Jaksa.

“Kalau tidak ada alat bukti, jaksa akan kesulitan. Sebab, Jaksa nanti yang bertanggung jawab dalam persidangan. Kalau Jaksa tidak bisa membuktikan dalam persidangan, ini menjadi pertarungan reputasi mereka. Bahkan, ini bertentangan dengan rasa keadilan,” papar dia.

Terkait alat bukti, Suparji mengatakan proses hukum dalam penyidikan maupun persidangan merupakan sebuah konstruksi fakta berdasarkan alat bukti yang didukung barang bukti.

Dia menegaskan dalam proses hukum, fakta tidak bisa direkayasa, tetapi hanya direkonstruksi. Karena itu, fakta tidak bisa bersifat imajinatif atau asumtif, tetapi harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

“Untuk menemukan satu fakta materil harus berdasarkan alat bukti yang berkualitas atau alat bukti yang memiliki kesesuaian dengan peristiwa pidananya,” ungkapnya.

Terkait tindak pidana suap atau gratifikasi yang disangkakan kepada Firli Bahuri, kata Prof Suparji harus ada pembuktian yang memenuhi unsur materiil sebagaimana disarankan oleh Jaksa.

“Harus benar-benar ada alat bukti yang menunjukkan peristiwa pidana korupsi itu. Misalnya, saksi yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami secara langsung atas terjadinya dugaan penyuapan, gratifikasi atau pemerasan. Itu harus ada bukti, kapan dan dimana dilakukan. Nah, ini yang bicara adalah saksi, yang bicara adalah alat bukti berupa surat atau petunjuk,” katanya.

Lantaran penyidik PMJ tidak menemukan alat bukti yang kuat, kata Suparji, Jaksa tidak punya keyakinan tentang kebenaran materiil. Itu sebabnya, Jaksa mengembalikan berkas perkara Firli Bahuri kepada penyidik PMJ.

Sejatinya, menurut Suparji, kasus yang disangkakan kepada Firli Bahuri sederhana kalau memang penyidik menemukan alat bukti seperti petunjuk dari jaksa.

Yang jadi pertanyaan, kata dia, kenapa penyidik tidak bisa melengkapi berkas perkara itu. Apakah memang tidak ada alat bukti atau alat buktinya belum ditemukan?

“Kalau memang ada alat buktinya, perkara ini sebetulnya simpel. Misalnya, jelas waktunya, jelas tempatnya, jelas orang-orang yang bisa diperiksa. Ternyata belum dapat kan. Bisa jadi karena memang tidak ada alat buktinya,” kata dia.

“Alat bukti itu tidak dicari, tetapi ditemukan. Artinya, alat bukti tidak bisa dikondisikan, tetapi harus betul-betul nyata adanya,” pungkasnya. (jp)

Tag
Share