RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebut meminta uang Rp 12 miliar agar Kementerian Pertanian (Kementan) mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Permintaan uang itu berangkat atas temuan pemeriksaan sejumlah kegiatan di Kementan, salah satunya terkait program lumbung pangan nasional atau Food Estate.
Hal itu terungkap saat Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan Hermanto bersaksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa SYL, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Hermanto bersaksi untuk Terdakwa mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo alias SYL, mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta.
Baca Juga: Minta Donasi Palestina dengan Paksaan, 2 WNA Pakistan Ditahan Imigrasi Blitar
Awalnya, Jaksa KPK mendalami keterangan Hermanto soal pemeriksaan BPK di Kementan. Diakui Hermanto, pihaknya mendapatkan WTP dari BPK saat dirinya menjabat sebagai Sesditjen PSP. Jaksa lalu mendalami pengetahuan Hermanto soal Haerul Saleh dan Victor.
"Sebelum kejadian WTP itu, saksi ada kenal namanya Haerul Saleh? Victor? Siapa orang-orang itu?" tanya jaksa KPK.
"Kalau Pak Victor itu memang auditor yang memeriksa kita (Kementan)," jawab Hermanto.
Hermanto menjelaskan Haerul Saleh merupakan Ketua Akuntan Keuangan Negara IV.
Hermanto juga mengakui mengenal Haerul Saleh, yang merupakan Anggota IV BPK. Lalu Hermanto menjelaskan adanya temuan BPK terkait pengelolaan anggaran Food Estate di Kementan. Diketahui, Program Strategis Nasional (PSN) itu dianggarkan dalam pos anggaran Kementerian Pertanian (Kementan).
Hermanto mengatakan temuan soal Food Estate itu tidak banyak tetapi mencakup nilai anggaran yang besar. Menurut Hermanto, BPK menemukan adanya kekurangan dalam kelengkapan dokumen administrasi. Kementan pun diberi kesempatan untuk melengkapinya.
"Ada temuan dari BPK terkait food estate. Yang menjadi concern itu yang food estate. Itu temuan kurang kelengkapan dokumen, administrasinya. Istilah di BPK itu bayar di muka dan itu belum menjadi TGR. Jadi, itu ada kesempatan kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan," ucap dia.
Jaksa lebih lanjut mendalami alasan Kementan tetap mendapatkan WTP meski adanya temuan soal program food estate itu. "Kalau begitu kejadian apa saksi pernah bertemu dengan Pak Victor Daniel Siahaan, Toranda Saifullah? Apa yang disampaikan mereka kepada Kementan selaku yang diperiksa?" cecar jaksa.
"Pernah disampaikan konsep dari temuan-temuan itu bisa menjadi penyebab tidak bisanya WTP di Kementan," tutur Hermanto.
Jaksa KPK lalu mendalami apakah ada permintaan dari BPK terkait pemberian opini. Hermanto tak membantah adanya permintaan uang dari pihak BPK untuk menyuap sejumlah temuan agar pihaknya mendapat WTP.
"Terkait hal tersebut bagaimana, apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?" tanya jaksa.
"Ada, waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan," ungkap Hermanto.
"Diminta Rp 12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?" cecar jaksa.
"Iya, Rp 12 miliar oleh Pak Victor tadi," jawab Hermanto.
Hermanto menjelaskan akhirnya tidak Rp12 miliar yang diberikan, melainkan hanya Rp5 miliar. "Yang saya dengar-dengar," jawab dia.
Hermanto mengaku mendengar hal itu dari Muhammad Hatta setelah uang Rp 5 miliar diserahkan.
"Sudah selesai. Saya enggak tahu proses penyerahannya kapan, dari mana uangnya," ujar Hermanto.
Menurut Hermanto, uang Rp5 miliar itu didapat dari salah satu vendor di Kementan.
Hermanto mengaku tak mengetahui sosok vendor yang memberikan yang kepada Hatta itu. Yang jelas, setelah pemberian uang keluarlah predikat WTP dari BPK.
Hermanto juga menyampaikan pihak BPK terus menagih kekurangan Rp12 miliar yang tadi.
"Enggak ada saya jawab," tandas Hermanto. (jp)