Penggabungan kata dan ayat, hingga murid bisa membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Tapi yang paling berharga dari metode tradisional ini adalah bahwa setelah bisa membaca, santri dibimbing untuk mengkaji isinya. Surat Al-Fatihah, misalnya, dibaca perlahan, lalu guru menjelaskan:
“Alhamdulillah” artinya segala puji bagi Allah.
“Rabbil ‘aalamiin” artinya Tuhan semesta alam.
Setiap lafazh dibahas maknanya, dikaitkan dengan akidah, ibadah, dan akhlak. Bahkan dalam beberapa pesantren, satu ayat bisa dibahas berjam-jam.
Inilah hakikat mengaji yang sejati: membaca dan langsung mengkaji.
Mengaji yang Terlupakan
Sayangnya, makna “mengaji” kini mulai bergeser. Banyak yang mengira cukup bisa membaca tanpa tahu artinya. Padahal; mengaji tanpa memahami bagaikan membaca surat tanpa mengerti isinya. Mengaji tanpa penghayatan menjadikan hati kering dan akal kosong dari hidayah.
Tak heran jika ada yang fasih membaca, tetapi akhlaknya jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Karena bacaan belum menyentuh pemahaman, dan pemahaman belum membuahkan pengamalan.
Menghidupkan Kembali Tradisi Mengkaji
Kini saatnya kita kembali pada semangat mengaji yang benar:
Ajarkan anak-anak bukan hanya membaca, tapi juga mulai mengenal arti.
Perbanyak majelis tafsir Al-Qur’an, bukan hanya tilawah berjamaah.
Gunakan terjemah dan tafsir sebagai sarana memahami Al-Qur’an.
Kembangkan tradisi diskusi Qur’ani di rumah, masjid, sekolah, dan majelis taklim.
Penutup: Mengaji untuk Hidup dalam Cahaya Qur’an