Universitas Haji: Dari Ibadah ke Revolusi Intelektual

Kamis 12 Jun 2025 - 22:25 WIB

Lewat Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang didirikannya pada 1914 di Batavia, ia menyerukan kesetaraan, menentang taqlid, dan mengusung rasionalitas dalam pendidikan Islam. Surkati tidak hanya mengajarkan tafsir dan fikih, tetapi juga membentuk cara berpikir umat: bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai oleh jiwa yang terjajah, dan bahwa Islam harus menjadi kekuatan pembebas, bukan alat pelanggeng ketimpangan.

Surkati berdiri sejajar dengan KH Ahmad Dahlan dan Haji Zamzam dalam arus besar pembaruan Islam di Indonesia. Trio ini dikenal sebagai para mujadid yang mendobrak kebekuan pemikiran, mendirikan institusi pendidikan modern, dan menata kembali pelaksanaan ibadah agar lebih terstruktur dan bermanfaat bagi masyarakat.

Salah satu contohnya adalah reformasi dalam pelaksanaan ibadah qurban. Jika sebelumnya qurban dilakukan secara individual dan sporadis, kini berkembang menjadi gerakan kolektif yang dikelola oleh panitia, dilengkapi laporan keuangan, dan sistem distribusi yang adil.

Inilah buah dari semangat modernisasi Islam yang lahir dari perjumpaan antara pengalaman haji dan visi pembaruan.

Lebih dari itu, Surkati mewariskan gagasan bahwa Islam adalah agama yang membebaskan. Ia menolak fanatisme buta, menentang mitos darah biru, dan menyerukan agar umat bangkit dari keterbelakangan.

Ia mengajarkan bahwa pendidikan adalah jantung perlawanan dan bahwa ritual seperti qurban tidak boleh berhenti di penyembelihan hewan, tetapi harus meluas menjadi penyembelihan egoisme, kemalasan berpikir, dan kepatuhan membuta terhadap tradisi usang.

Dalam pandangan Surkati, ibadah adalah jembatan menuju pembaruan. Ia mengubah masjid dari tempat pasif menjadi pusat dinamika, dan menjadikan Mekkah bukan hanya kiblat salat, tetapi juga kiblat perubahan.

Haji, dalam sejarah Indonesia, telah memainkan peran kunci sebagai wahana transmisi gagasan. Dari tanah suci, para haji membawa pulang semangat kebebasan, keilmuan, dan keberanian.

Pemerintah kolonial yang semula menganggap haji sebagai urusan privat, akhirnya menyadari bahwa haji adalah institusi global yang berbahaya bagi sistem penindasan. Haji membentuk kesadaran baru, dan dari sanalah muncul tokoh-tokoh pembebas seperti Surkati, yang tidak hanya mengubah cara umat beribadah, tapi juga cara mereka berpikir dan bertindak.

Iedul Adha hari ini harus dibaca ulang bukan hanya sebagai momentum spiritual, tetapi juga sebagai panggilan intelektual. Bahwa dari Ibrahim kita belajar ketundukan, dari haji kita belajar transformasi, dan dari Surkati kita belajar keberanian berpikir merdeka.

Universitas haji telah melahirkan ulama-ulama besar Nusantara, dan dalam jejak mereka kita menemukan bahwa ibadah bisa menjadi jalan menuju revolusi — bukan dengan kekerasan, tapi dengan ilmu, pendidikan, dan pembebasan. (net)

Kategori :