RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Nilai tukar (kurs) rupiah ditutup ambruk mendekati hampir Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Yakni berada di level Rp 15.934 per dolar AS pada perdagangan akhir Selasa (26/11). Angka ini tercatat naik 53,5 poin dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan, dolar AS telah naik selama delapan minggu berturut-turut. Dengan banyak indikator teknis yang menunjukkan overbought karena taruhan bahwa kebijakan Trump akan memicu inflasi dan semakin mendukung dolar.
Menurut dia, hal itu terjadi setelah Presiden terpilih AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif perdagangan tambahan pada Tiongkok dan negara-negara lain. Sehingga meningkatkan kekhawatiran akan perang dagang baru.
“Trump mengatakan di jejaring sosial Truth Social miliknya, bahwa ia akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada barang-barang dari Tiongkok dan 25 persen pada semua produk dari Meksiko dan Kanada. Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi migran dan obat-obatan terlarang yang melintasi perbatasan AS,” kata Ibrahim dalam analisis yang diterima JawaPos.com, Selasa (26/11).
Baca Juga: Pep Guardiola: Masa Buruk Ini akan Segera Berlalu
Sementara itu peningkatan tarif perdagangan menandakan lebih banyak hambatan ekonomi bagi Tiongkok. Bahkan, Beijing juga diperkirakan akan memperkenalkan lebih banyak stimulus fiskal untuk mengimbangi dampak tarif.
“Negara tersebut akan mengadakan dua pertemuan politik tingkat atas pada bulan Desember, di mana investor akan mengamati lebih banyak tindakan fiskal,” jelasnya.
Selain itu, perdagangan sepi menjelang hari libur Thanksgiving AS yang juga merupakan hari libur bagi banyak profesional pasar.
Satu-satunya data utama yang akan dirilis minggu ini adalah pada hari Rabu (27/11) dengan pembacaan kedua Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal ketiga dan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi bulan Oktober.
Di sisi lain, Ibrahim mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 diprediksi tidak akan mencapai 5,1 persen (YoY) dan kemungkinan hanya berada pada level 5 persen (YoY).
Ini karena belanja di akhir tahun meningkat, tetapi belum tentu akan mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi karena merupakan faktor musiman.
“Pada kuartal IV-2024, PDB seharusnya akan flat atau ada soft acceleration karena belanja. Di kuartal III sebelumnya, belanja Bansos meningkat tetapi efeknya belum terlihat ke konsumsi dan pilkada di kuartal IV akan membantu belanja,” ungkapnya.
Sementara itu, di tahun 2025 ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jika pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, pertumbuhan ekonomi secara tahunan bisa berada di angka 4,91 persen hingga 4,96 persen. Angka itu jauh dari target tahun depan yang mencapai 5,2 persen.
Kemudian, kondisi global yang belum tentu pulih akan menjadi tantangan tersendiri. Salah satu yang perlu diwaspadai di antaranya kebijakan tarif dari Trump bisa berdampak terhadap banjir barang dari Tiongkok ke Indonesia.
“Akibatnya harga tertekan dan persaingan dengan produsen lokal. Sehingga likuiditas menjadi tantangan tersendiri untuk pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (jp)