JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Philip Mehrtens menjalani dua kali pembebasan secara simbolis sebelum benar-benar dibebaskan. Butuh berbulan-bulan agar tim negosiasi bisa diterima Egianus Kogoya dan kelompoknya yang menyandera pilot asal Selandia Baru tersebut.
Di Honai sempit di sebuah kampung di sudut Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, itu, Edison Gwijangge untuk kali pertama bertemu langsung Philip Mehrtens. Beberapa anak buah Egianus Kogoya, kelompok yang menyandera pilot asal Selandia Baru, itu ikut mendampingi.
’’Kepada saya Philip bilang dia sehat dan orang-orang di Kampung Yuguru telah menjaganya dengan baik,” kata Edison, mantan penjabat bupati Nduga itu, tentang pertemuan pada 17 September tersebut.
Pilot Susi Air yang disandera kelompok yang dipimpin Egianus Kogoya, salah satu faksi dalam Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), sejak 7 Februari tahun lalu itu juga meminta pemerintah menyiapkan segala dokumen yang dibutuhkan.
Baca Juga: Penetapan Status DPO Terpidana Zainal Muttaqin Masih Mandek di Kejagung RI
’’Dia juga berharap pemerintah Indonesia menyiapkan makanan agar warga di kampung tersebut bisa makan,” lanjut Edison yang menjabat ketua tim pendampingan masyarakat dan pilot dalam upaya pembebasan Mehrtens kepada Cenderawasih Pos pada Minggu (22/9).
Permintaan Mehrtens itu direspons kedua pemerintahan. Kepala Operasi Damai Cartenz 2024 Brigjen Pol Faizal Ramadhani menyampaikan, Polda Papua langsung mengirim permintaan bahan makanan ke Kampung Yuguru, Distrik Maibarok, Nduga.
Edison menyebut bahan makanan yang dikirim adalah beras dan ayam beku. ’’Jumlahnya cukup setidaknya sampai musim yang sedang tidak menentu sekarang ini berakhir,” katanya.
Di kampung itulah Mehrtens dibebaskan pada Sabtu (21/9) pekan lalu. Dia dijemput tim kecil dengan Edison ada di dalamnya. Tim tersebut bertolak dari Bandara Mozes Kilangin, Timika, menggunakan helikopter carteran milik Asian One PK-LTY pukul 08.15 WIT.
Begitu bertemu Mehrtens, tim langsung membawanya dengan helikopter yang sama menuju Mako Brimob Batalyon B/Timika. Rombongan mendarat pukul 12.04 WIT di Lanud Yohanis Kapiyau, Timika.
Pembebasan Mehrtens sebuah proses panjang. Edison bertugas sejak awal penyanderaan berdasar surat tugas yang dikeluarkan mantan Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Nikolaus Kondomo.
Tugasnya melakukan koordinasi, komunikasi, dan konsolidasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Egianus Kogoya. ’’Saya bertindak sebagai ketua tim di tingkat keluarga dengan merekrut beberapa intelektual yang rata-rata dari keluarga, tugas kami keluar masuk melakukan pendekatan ke kecamatan-kecamatan (distrik) di mana pilot itu ditahan,” ungkapnya.
Dia harus melakukan pendekatan selama berbulan-bulan untuk bisa diterima Egianus dan kelompoknya. Maklum, di kalangan TPNPB-OPM, Egianus termasuk disegani dan memiliki pasukan dan senjata yang cukup lengkap.
Sebelum akhirnya Mehrtens diserahkan, ujar Edison, telah dilakukan dua pembebasan secara simbolis pada Agustus. Yang pertama pada 3 Agustus di Kampung Luaren, Distrik Wutpaga, Kabupaten Nduga. Saat itu, Egianus selaku pimpinan Kodap (Komando Daerah Pertahanan) III TPNPB mengumumkan demi kemanusiaan, dia membebaskan Mehrtens.
"Saat itu yang hadir adalah jajaran Kodap III dan warga yang berada di tujuh desa di Distrik Kuyawage,” bebernya.
Pembebasan simbolis kedua terjadi pada 27 Agustus 2024, juga di Kampung Luaren. Sesudah dua pembebasan simbolis itulah Edison bersama tim menemui Mehrtens untuk mengecek kondisinya.
"TNI-Polri turut andil dalam pembebasan pilot Philip dan Kapolres Mimika AKBP I Komang Budiartha adalah eksekutor dalam pembebasan ini. Sebab, saat tim keluar masuk melakukan negosiasi, beliau yang memfasilitasi pembiayaan ketemu pilot, termasuk memberikan bahan makanan ke masyarakat,” ungkapnya.
Layaknya Tamu
Selama di Yuguru, Edison menyebut Mehrtens dihormati layaknya tamu. Karena itu pula, sebelum dia dibebaskan, masyarakat setempat menggelar prosesi bakar batu.
Begitu pula ketika Mehrtens akan dibawa dari Kuyawage ke Yuguru, lanjut Edison, warga setempat juga melakukan prosesi serupa. Bakar batu punya berbagai nama di berbagai sudut Papua. Di Wamena, misalnya, disebut kit oba isogoa. Sedangkan di Nduga namanya kerep kan.
"Prosesi bakar batu punya nilai sosial yang kompleks. Salah satunya untuk penghormatan kepada tamu yang akan pulang,” jelas Edison. (jp)