Menasihati Diri Sendiri Sebelum Orang Lain
--
Salah satu contoh yang sangat baik dalam hal ini adalah kisah Buya Hamka. Dalam buku “Kenang-kenangan dari Penjara Rezim Orde Lama” karya H.M. Yunan Nasution, beliau mengenang pengalaman pahitnya saat mendekam di balik jeruji besi pada masa Orde Lama.
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1967 dan kemudian dicetak ulang pada tahun 2013.
Di penjara RTM, terdapat sebuah ruangan besar yang digunakan khusus untuk kegiatan keagamaan. Ruangan ini berfungsi sebagai masjid di mana para tahanan melaksanakan shalat berjamaah, terutama shalat Maghrib, Isya, dan Subuh.
Shalat Jumat juga diadakan di tempat tersebut. Kadang-kadang, guru-guru agama dari Pusat Rohani (Pusroh) TNI Angkatan Darat datang untuk memberikan ceramah dan bimbingan rohani.
Selain itu, peringatan hari-hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Fitri, dan Idul Adha juga dirayakan di penjara ini. Perayaan tersebut biasanya diadakan di lapangan tenis dengan menghadirkan penceramah, imam, dan khatib dari Pusroh TNI-AD.
Pada peringatan Maulid Nabi tahun 1962, Pusroh TNI-AD mengundang seorang mubaligh terkenal yang sangat dikenal oleh Yunan, yaitu HAMKA.
Menurut cerita Hamk kepada Yunan, ketika Pusroh TNI-AD memintanya untuk menjadi mubaligh dalam peringatan Maulid Nabi di RTM, Hamka langsung menyatakan kesediaannya tanpa berpikir dua kali. Dalam hatinya, Hamka merasa seperti mendapat kesempatan emas.
Pada ceramah Maulid Nabi di RTM, Hamka bercerita tentang perjuangan Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar yang harus meringkuk dalam penjara selama lebih dari tujuh tahun karena mempertahankan keyakinannya.
Di dalam penjara, Ibnu Taimiyah terus menulis dan menuangkan pemikirannya, sehingga setelah bebas dari penjara, banyak bukunya yang diterbitkan dan menjadi rujukan penting.
Setelah selesai peringatan Maulid Nabi pada malam itu, Yunan dan teman-temannya sesama penghuni RTM mengantar Hamka sampai di pintu depan penjara.
Sambil berkelakar, Yunan berkata kepada Hamka, yang merupakan kawannya sejak lama dalam mengasuh majalah “Pedoman Masjarakat” di tahun 1930-an, “Di sini sajalah bermalam, Bung Hamka.” Hamka menjawab sambil tersenyum, “Lain kali sajalah.”
Tak seorang pun, termasuk Hamka, yang menyangka bahwa setahun kemudian ia juga akan ditangkap dan ditahan oleh rezim Sukarno dengan tuduhan yang didasarkan pada fitnah.
Hamka ditahan selama hampir tiga tahun. Ironisnya, kisah yang ia ceritakan tentang Ibnu Taimiyah pada malam itu, ternyata menjadi kenyataan dalam hidupnya sendiri.
Buya Hamka mengalami nasib serupa dengan Ibnu Taimiyah. Selama masa penahanannya, Hamka menulis karya monumentalnya yang berjudul “Tafsir Al-Azhar,” sebuah tafsir Al-Quran yang hingga kini menjadi salah satu rujukan utama dalam kajian tafsir di Indonesia.
Kisah Hamka ini tidak hanya menunjukkan ketabahan dan kesabaran seorang ulama dalam menghadapi cobaan, tetapi juga menggambarkan bagaimana seorang ulama sejati tetap produktif dan memberikan kontribusi besar kepada umat, meski dalam kondisi yang sangat sulit.