Pemotongan Dana TKD Seperti Pisau Bermata Dua

ilustrasi -foto :jpnn.com-

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Peneliti senior Citra Institute Efriza menilai pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) untuk program prioritas nasional seperti pisau bermata dua. Dia menjelaskan pemotongan anggaran yang dialihkan pada program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dapat dinilai positif. Namun, semestinya hubungan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dibangun dengan kerangka kerja kolaboratif sekaligus mengedepankan akuntabilitas serta disiplin fiskal di daerah.

"Namun sayangnya, persoalan dari kebijakan efisiensi dari TKD yang dilakukan pusat, dikhawatirkan berdampak terhadap kebijakan fiskal di daerah," kata Efriza kepada JPNN.com, Sabtu (11/10).

Dia menjelaskan kebijakan tersebut dilakukan secara top-down atau “turun dari atas”. Sehingga, efisiensi TKD ini yang dinilai oleh para pemerintah daerah sebagai kebijakan hirarkis dan instruksi semata.

"Dalam keputusan efisiensi yang dilakukan pemerintah pusat dengan tanpa terbukanya ruang dialog dua arah, sehingga kebijakan disiplin fiskal yang diharapkan malah mengurangi perencanaan program prioritas pemerintah daerah," lanjutnya. Dia meyakini hal itu akan berdampak tarik-menarik antara kepentingan politik nasional dan otonomi fiskal daerah.

"Pemerintah pusat tampak berupaya menjaga keberlanjutan program unggulan presiden, tetapi kebijakan ini berpotensi menggerus kemandirian fiskal daerah, perencanaan ulang kembali program-program prioritas daerah, serta dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan pusat-daerah," tuturnya.

Efriza menyebutkan dampak kebijakan itu juga tidak menutup kemungkinan terjadi perdebatan perspektif politik. Dia menjelaskan jika berkaca penerapan desentralisasi, langkah ini bisa dipandang sebagai kemunduran, karena daerah kembali bergantung pada arahan pusat dan kehilangan ruang untuk mengatur prioritas pembangunan sesuai kebutuhan lokal.

"Hanya saja, pusat juga berhak melakukan pengawasan, ini juga bagian dari konsekuensi negara kesatuan, ditambah juga dengan fakta terjadinya perilaku koruptif dan pemborosan implementasi anggaran yang dilakukan oleh daerah-daerah," kata Efriza.

Dia menjelaskan jika komunikasi politik dan mekanisme dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pusat tanpa melihat kondisi di daerah-daerah, resikonya adalah kehidupan di masyarakat tingkat daerah.

"Yang utama adalah kebijakan ini berisiko menimbulkan resistensi kepala daerah dan melemahkan semangat otonomi yang selama ini dibangun dalam sistem pemerintahan daerah Indonesia pasca reformasi," pungkas Efriza. 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan