Punya Anak di Tengah Krisis, Investasi Masa Depan atau Beban Hidup?

Punya Anak di Tengah Krisis, Investasi Masa Depan atau Beban Hidup--Satu Persen - Indonesian Life School
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Fenomena banyaknya anak dalam keluarga berpenghasilan rendah masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Pola ini tak lepas dari warisan cara pandang lama yang menganggap anak sebagai investasi jangka panjang dan jaminan sosial di masa tua.
Dalam situasi ekonomi sulit, anak sering kali dianggap sebagai sumber tenaga tambahan yang bisa membantu orang tua secara langsung dalam menghidupi keluarga.
Secara historis, di masa sebelum era digital dan otomatisasi, anak memang menjadi bagian penting dari roda ekonomi keluarga.
Mereka membantu bertani, berdagang, atau sekadar merawat adik-adiknya.
BACA JUGA:Dugaan SPj Fiktif Dana DWP Rp 450 Juta, Istri Wabup Turut Diperiksa
Narasi “banyak anak banyak rezeki” pun menjadi semacam doktrin budaya yang masih bertahan di kalangan masyarakat miskin dan pedesaan, di mana akses terhadap informasi dan pendidikan masih terbatas.
Namun, seiring perkembangan zaman, paradigma ini mulai tidak relevan.
Kebutuhan hidup modern seperti pendidikan, kesehatan, dan teknologi justru menjadikan anak sebagai beban finansial, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas.
Data menunjukkan bahwa biaya hidup keluarga dengan anak usia sekolah bisa meningkat hingga 1,5 kali lipat dibanding mereka yang belum memiliki anak.
Kondisi ini semakin parah sejak pandemi dan lonjakan inflasi yang melanda pasca-2022.
BACA JUGA:Tunggakan Rp 1 Miliar, PDAM Lebong Tengah Minta Pelanggan Sadar Bayar Tagihan
Salah satu akar masalahnya adalah minimnya perencanaan keluarga.
Banyak pasangan menikah dan langsung memiliki anak tanpa mempertimbangkan kesiapan finansial atau psikologis.