RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - “ALA BIASA KARENA BIASA,” demikian kata pepatah Melayu, yang artinya, hal-hal yang sukar akan lebih mudah jika dilakukan dengan latihan. Hal ini, cocok dengan amalan sedekah.
Semua manusia cinta harta. Karenanya bagi orang yang belum gemar bersedekah, adalah sesuatu yang kayaknya berat menyisihkan sebagian rezekinya yang dicari dengan jerih payah hanya untuk membantu orang lain.
Seringkali ketika ingin bersedekah dan menafkahkan harta di jalan Allah, terkadang timbul bisikan melarang dan menakut-nakuti. Itu adalah ulah setan, yang menakut-nakuti manusia dengan takut miskin.
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia-Nya. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”. (QS: al-Baqarah [2]:268)
Para ilmuwan berbeda pendapat tentang asal kata setan dan hakikatnya. Namun pakar-pakar bahasa Arab menyatakan, bahwa syaithan (setan) merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan bisa jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang digunakan oleh selain orang Arab.
Baca Juga: Salah Kaprah Sertifikasi Halal Industri Retailer, Dimana Titik Kritis Halalnya?
Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab asli yang dapat dibentuk dengan bentuk kata syaithan. Misalnya ( شطط) syathatha, (شاط) syatha, ( شوط) syawatha,( شطن) syathana, yang mengandung makna-makna jauh, sesat, berkobar dan terbakar serta ekstrim.
kata setan tidak terbatas pada manusia dan jin, tetapi juga dapat berarti pelaku sesuatu yang buruk atau tidak menyenangkan, atau sesuatu yang buruk dan tercela.
Bukankah setan merupakan lambang kejahatan dan keburukan. Setan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, dalam arti, bila manusia bermaksud bersedekah, ada bisikan dalam hati manusia yang dibisikkan oleh setan, “Jangan bersedekah, jangan menyumbang, hartamu akan berkurang, padahal engkau memerlukan harta itu, jika kamu menyumbang, maka kamu akan terpuruk dalam kemiskinan.
Selain itu, setan juga menyuruh berbuat fahisyah. Fahisyah yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dihimpun oleh apa yang dianggap sangat buruk oleh akal sehat, agama, budaya, dan naluri manusia.
Dalam konteks ayat ini termasuk kikir, menyebut-nyebut kebaikan yang diberikan, menyakiti hati pemberi, dan sebagainya. Seorang yang kikir, apalagi yang memiliki kelebihan, kekikirannya membuahkan dengki dan iri hati masyarakat, dan jika ini terjadi maka setan menyuruh dan mendorong masyarakat untuk melakukan beragam kejahatan seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. (M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah).
Awal mula penyakit ini adalah kekikiran yang melahirkan sifat rakus untuk enggan bernafkah, dan pada gilirannya menjadi lahan yang sangat subur bagi setan untuk mengantar kepada aneka kejahatan.
Ibnu Katsir menekankan bahwa setan memiliki misi untuk menghalangi manusia dari kebaikan. Dalam konteks ayat ini, setan menakut-nakuti manusia dengan kemungkinan kemiskinan jika mereka bersedekah atau berinfak.
Setan memengaruhi hati manusia agar mereka berpikir bahwa harta yang dikeluarkan tidak akan tergantikan, sehingga manusia memilih kikir atau enggan berinfak. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar al-Fikr, jilid 1, hal 700-701)
Namun, Allah menawarkan sesuatu yang berbeda. Allah menjanjikan “maghfirah” (ampunan atas dosa) dan “fadl” (karunia atau rezeki yang melimpah) bagi orang-orang yang bersedekah. Ini menunjukkan bahwa infak tidak hanya mendatangkan pahala akhirat tetapi juga membawa keberkahan dunia.
Ibnu Katsir menutup tafsirnya dengan menekankan bahwa godaan setan adalah tipu daya yang lemah bagi orang-orang beriman.
Sedangkan Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi memberikan penjelasan yang ringkas tetapi padat. Dijelaskan bahwa setan menggunakan ketakutan terhadap kemiskinan sebagai cara untuk menghalangi manusia berinfak. Ketakutan ini sering kali berujung pada kebakhilan, di mana seseorang enggan memberikan apa yang ia miliki kepada orang lain atau untuk kepentingan agama.
Selain itu, setan juga mengajak manusia pada “fahsyā’,” yang dapat berupa perbuatan maksiat atau dosa yang menghalangi mereka dari ketaatan. (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Dar al-Hadith, hal 43).
Allah, sebaliknya, menjanjikan dua hal: ampunan dosa dan kelimpahan rezeki. Tafsir ini menggarisbawahi bahwa Allah selalu memberi lebih banyak dari apa yang manusia keluarkan di jalan-Nya, baik dalam bentuk materi maupun non-materi.
Imam Al-Qurtubi menguraikan bahwa setan menggunakan strategi ketakutan sebagai cara untuk menanamkan keraguan dalam hati manusia. Ketakutan akan kefakiran ini dapat menyebabkan seseorang enggan memberikan sebagian hartanya di jalan Allah, meskipun harta tersebut sebenarnya adalah amanah dari Allah. (Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, jilid 3, hal 347-348).
Ayat ini masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu mendorong orang Mukmin untuk berinfak di jalan Allah SWT, yaitu jalan kebaikan. Karena Allah SWT menjanjikan ampunan sebagai balasan dari berinfak dan menjanjikan akan memberi ganti dan karunia berupa harta dan rezeki.
Allah SWT memberi karunia karena Dia Maha Kaya, gudang-gudang karunia-Nya tidak akan pernah habis. Allah SWT mengetahui dimana meletakkan karunia tersebut dan untuk siapa. Allah SWT Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang tampak. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), jilid II hlm. 93).
Ayat ini memberikan peringatan tentang bisikan dan godaan setan, karena setan mengetahui tempat masuk untuk menghalang-halangi manusia dari bersedekah di jalan Allah SWT.
Bersamaan dengan itu, setan juga menyuruh manusia untuk bersikap kikir; melakukan kemaksiatan dan menyuruh manusia untuk berinfak di jalan kemaksiatan. Barangsiapa yang dikaruniai hikmah (ilmu ‘yang benar dan bermanfaat) dan pemahaman yang mendalam tentang AI-Qur’an, maka ia telah dikaruniai sesuatu yang paling baik berupa kitab yang mencakup seluruh ilmu para orang terdahulu berupa shuhuf dan yang lainnya.
Ayat ini juga mengandung anjuran untuk menuntut ilmu dan mengagungkan kedudukan hikmah. Ayat ini juga mengandung perintah untuk memanfaatkan akal untuk merenungi dan memikirkan sesuatu paling mulia yang diciptakan untuknya. Sebagian orang bijak berkata, “Barangsiapa yang dikaruniai ilmu dan Al-Qur’an maka ia harus mengetahui dan memahami siapa dirinya sebenarnya (maksudnya menyadari kedudukannya). Oleh karena itu, ia tidak boleh bersikap merendahkan diri di hadapan orang-orang yang memiliki harta karena menginginkan harta mereka. Karena sebenarnya ia telah dikaruniai sesuatu paling mulia dibanding apa yang diberikan kepada mereka. Allah SWT menyebut kekayaan dunia sebagai mataa’un qaliil (kesenangan yang sedikit atau sesaat).“ (net)