RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - MENGAPA kata “bid’ah” selalu menarik didiskusikan? Karena kata ini bermakna “perkara baru”.
Namanya “hal baru, inovasi”, maka, ia selalu hangat pada setiap waktunya. Dan, ada yang memaknai “bid’ah” secara harfiah, ada yang memaknai secara “maknawiyah”.
Ada pula yang memaknai secara “teologis”. Dan ada yang hanya ikut-ikutan tentang “bid’ah itu sesat”, tanpa memahami konsep bid’ah yang sesat.
Atau sebaliknya, terlalu bersemangat dengan bid’ah hasanah, sehingga lupa bahwa agama ada dalilnya (dengan batasan-batasan tertentu).
Ada pula, yang kokoh seperti semen gersik bahwa seluruh bid’ah adalah sesat, karena tanpa mampu membaca literasi lain terkait dengan kata “bid’ah” sendiri, sehingga sekelas Imam Syafi’i dan Imam Nawawi disesatkan.
Tanpa, memahami yang dimaksud dengan bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah (tercela). Sehingga baginya, tidak ada bid’ah mahmudah/hasanah.
Urusan bid’ah sebenarnya bisa lebih disederhanakan, walau ini tidak pernah sederhana, karena ancamannya adalah “neraka”. Tinggal bagaimana melihat dan membaca bid’ah ini.
Masalahnya bagaimana memahami kata “kullu bid’atin dhalalah, setiap sesuatu yang baru bid’ah”, dan bagaimana praktiknya para sahabat Nabi dan Salaf?.
Adanya perbedaan “bid’ah” adalah perbedaan konsep awal dari pada ulama. Contohnya, belajar ilmu tajwid atau ilmu nahwu, apakah termasuk bid’ah?
Bila dijawab, “bukan”!. Terus namanya apa?, sedangkan belajar ilmu nahwu tidak pernah ada pada masa Nabi.
“Oh, ilmu nahwu bukan persoalan ibadah”, “katanya.
Kalau belajar ilmu nahwu bukan ibadah (apalagi untuk memahami tafsir), berarti belajar ilmu nahwu adalah sia-sia dan tidak dapat pahala. Kalau belajar ilmu nahwu adalah bid’ah, berarti belajarnya adalah sesat.
“Ia tidak seperti itu!”. Terus seperti apa?
Dari sini saya melihat, bahwa perbedaan konsep bid’ah ini yang kemudian mendatangkan beberapa perbedaan. Sehingga ada yang kukuh dengan tak ada pembagian bid’ah, dan ada yang membagi bid’ah menjadi dua dan seterusnya.
Karena berbeda memahami kata “bid’ah” itu sendiri. Saya tidak akan banyak mengutip “maraji’”, karena akan menjadi makalah atau bahkan menjadi buku, apalagi hanya menulis catatan ringan di FB atau di IG.
Ya, hanya sedikit mengutip, makan bid’ah menurut beberapa ulama. Dan lebih banyak saya ambil dari alsunna.
Secara bahasa, bid’ah adalah “sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
“Aku datang dengan sesuatu yang baru (badi’)”, yakni sesuatu yang baru dan mengagumkan yang sebelumnya tidak dikenal.
Secara syariat, bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits, sebagaimana dijelaskan oleh alim lughah yang cukup terkenal, Al-Fayumi, dalam bukunya Al-Misbah al-Munir, pada kata dasar “ب د ع” (b-d-‘a).
Hal ini juga disebutkan oleh Muhammad Murtadha Al-Zabidi, dalam Taj al-Arus pada kata yang sama. Dalam Al-Mu’jam al-Wajiz (Jilid 1, hlm. 45) disebutkan: “Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama atau yang lainnya, di mana seseorang memulai sesuatu tanpa contoh sebelumnya.”
Pembahasan tentang bid’ah ini tidak akan pernah selesai sampai kapan pun. Karena, memang sudah beda “pemahaman” dan “pemaknaan” yang berbeda. Apalagi sama-sama merujuk kepada ulama’nya masing-masing yang dianggap paling alim dan paling berpengaruh.
Yang juga menjadikan sebuah perbedaan, karena perbedaan pendekatan; sosiokultural, kontektual dan teologis. Sebagian orang melihat bid’ah dari sisi sosiokultural, di mana bid’ah dalam praktik keagamaan dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks ini, perdebatan sering muncul ketika tradisi atau kebiasaan yang baru diterapkan dalam masyarakat Muslim. Ada juga pandangan yang menekankan pentingnya memahami konteks ketika membicarakan bid’ah.
Bid’ah dianggap tidak selalu negatif, terutama jika didasarkan pada perubahan zaman yang menuntut adaptasi baru dalam menjalankan syariat, selama tidak menyimpang dari pokok ajaran agama.
Misalnya, penggunaan teknologi dalam penyebaran dakwah atau penyelenggaraan kegiatan ibadah yang difasilitasi dengan alat-alat modern.
Dalam kerangka teologis, bid’ah sering dikaitkan dengan perbedaan interpretasi dan mazhab dalam Islam. Beberapa mazhab lebih ketat dalam membedakan antara apa yang dianggap sebagai sunnah dan bid’ah, sementara yang lain mungkin lebih longgar dan memberikan ruang untuk bid’ah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama agama.
Apakah masih banyak perbedaan tentang bid’ah?. Masih, dan tidak akan pernah selesai.
Selain perbedaan konsep, makna, juga perbedaan praktik. Belum lagi, para ulama berbeda pendapat apakah bid’ah hanya terbatas pada masalah ibadah ataukah termasuk dalam perkara di luar ibadah.
Terus, ibadah yang seperti apa, dan yang bukan ibadah seperti apa?. Ini juga masih terus tampa henti.
Selama konsep bid’ah dan batasannya berbeda, maka akan selalu terdapat perbedaan. (net)
Kategori :