Silalahi Ande-ande
catatan dahlan iskan -foto :disway-
Kalau jalan tembus itu tersambung, Silalahi bisa punya akses lebih baik ke Sibea-bea. Lalu bisa ke bandara Silangit lebih dekat.
Kalau tidak, maka akses keluar Silalahi hanya dua: ke Sidikalang dan ke Simalungun. Ke Sidikalang tidak akan dapat banyak manfaat. Ke Simalungun jauhnya bukan main. Harus menyusuri hampir separo tepian Danau Toba.
Saya menyusuri jalan berliku itu; melingkar-lingkar. Menuju Simalungun. Kadang Toba terlihat di sisi kanan. Indah dan damai. Kadang berubah, Toba terlihat di sisi kiri. Indah dan damai. Kadang Toba seperti persis di pinggir jalan. Indah dan damai. Kadang Toba terlihat seperti nun jauh di bawah sana. Indah dan teduh.
Sebelum ke Simalungun –dan sebelum salat Jumat di Silalahi– kami ke monumen leluhur mereka. Kami melewati pusat kampungnya: padat, miskin, dan tidak terawat. Masih terlihat rumah-rumah kuno yang asli Silalahi. Tapi sudah berimpitan dengan bangunan-bangunan semi permanen yang ditempel-tempelkan ke rumah adat itu.
Monumen Silalahi itu sendiri seperti tugu Monas di Jakarta. Lebih kecil. Lebih pendek. Lebih sederhana. Di puncaknya bukan emas 36 kg, tapi sesuatu yang asing di imajinasi saya.
"Itu melambangkan apa?" telunjuk saya menuding ke puncak monumen dan wajah saya menoleh ke Pak Camat di sebelah saya.
"Itu perlambang bunga pisang," jawabnya. Oh...jantung pisang. ''Ontong'' dalam bahasa Jawa. Maknanya: pisang itu terus beranak-pinak sampai turun-temurun. Begitu pula marga Silalahi.