Silalahi Ande-ande

catatan dahlan iskan -foto :disway-

Oleh: Dahlan Iskan

Ketika meninggalkan Sidikalang, Jumat pagi lalu, mobil saya dikawal pikap: isinya durian Dairi.

Kami pun menyusun jadwal perjalanan berikutnya. Utamanya di mana saja bisa berhenti mencicil menghabiskan durian di pikap itu.

Pemberhentian pertama: kampung Silalahi. Di tepi Danau Toba –nun di ujung barat danau sepanjang 110 km itu.

Perjalanan ke Silalahi mirip dengan perjalanan kami sehari sebelumnya. Yakni ketika kami ke patung Yesus di Sibea-bea. Untuk mencapai Silalahi kami harus menuruni gunung. Berliku. Dari ketinggian 1.600 meter ke 1.100 meter. Meliuk-liuk.

Mendekati tepian danau barulah datarannya agak landai. Mulailah terlihat bercuil-cuil tegal dan sawah. Lalu rumah-rumah kecil penduduk asli.

Inilah tepian Danau Toba sisi termiskin. Masuk Kabupaten Dairi. Petak sawahnya kecil-kecil. Secuil-secuil. Di sela-sela batu besar. Pun petak kebunnya. Penuh batu agak besar dan agak kecil.

Tanaman terlihat kurang subur. Mangga pun buahnya kecil-kecil –seperti tidak cukup hara untuk membuatnya sedikit lebih besar.

 

Itulah Desa Silalahi: dipercaya sebagai muasal marga Silalahi. Terjepit antara danau di depannya dan gunung terjal di belakangnya.

 

Kami berhenti di tepian danau. Di gasebo-gasebo sederhana milik sebuah restoran keluarga Mayjen Polisi Purn Sihaloho. Kami permisi makan durian di situ. Tentu kami tahu diri: harus memesan ikan bakarnya dan sambal khas Bataknya. Kami sarapan sambil menunggu datangnya waktu salat Jumat.

 

Ikannya segar: dari keramba nila di tepian Danau Toba. Terlihat begitu banyak keramba mengapung di situ.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan