Inilah Tingkatan-Tingkatan Iman Manusia
Iman adalah keyakinan dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan, ia punya tingkatan-tingkatan sendiri.-Foto: net-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - IMAN adalah asas utama yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah SwT sebagai Tuhannya. Iman akan mendorong seorang hamba untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan iman seorang hamba akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Yaitu orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung. (Yunus [10]: 63-64)
Sesungguhnya orang-orang yang berkata;
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Fushilat [41]: 30-32)
Makna dan pokok-pokok iman
Secara bahasa iman berasal dari kata amana, yu’minu, imanan yang artinya membenarkan. Sebagaimana disebutkan Al-Quran saat mengisahkan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf AS kepada ayah mereka, Nabi Ya’kub AS, Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami orang-orang yang benar. (QS: Yusuf [12]: 17)
Baca Juga: Darimana Akar Asli Budaya Indonesia?
Adapun secara istilah syar’i, menurut Abdul Majid Al-Jindani dalam karyanya Ilm al-Iman, kata iman memiliki beberapa pengertian:
Pertama, membenarkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SwT dalam Surat Yusuf ayat 17 di atas. Dalam ayat yang lain, Al-Qur’an mengungkapkan iman dengan kata yaqin (keyajinan yang berdasarkan pada bukti), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, Dan kepada akhirat, mereka meyakininya (Al-Baqarah [2]: 4). Membenarkan dan meyakini adalah perbuatan hati.
Sebagian para ulama mendefinisikan iman sebagai ucapan dan perbuatan, yang merupakan ungkapan hati. Iman dalam makna ini berlawanan dengan kufur yang berarti mengingkari dan mendustakan. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa inilah satu-satunya makna iman.
Kedua, mengikrarkan dengan lisan, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SwT, Katakanlah:
قُلۡ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ
اَللّٰهُ الصَّمَدُ
“Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan tempat bergantung segala sesuatu.” (QS: Al-Ikhlas [112]: 1-2).
Makna ini juga disebutkan dalam sabda Rasulullah ﷺ, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan tiada Tuhan selain Allah. ” (HR. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, dan Abu Dawud).
Nash-nash Al-Qur’an dan hadits di atas menunjukkan bahwa iman adalah ucapan atau ikrar dengan lisan. Orang kafir tidak dianggap muslim kecuali ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kecuali jika dia bisu, ia dianggap muslim dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan keimanannya.
Ketiga, perbuatan, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SwT;
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS: Al-Hujurat [49]: 15)
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang benar imannya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa jihad adalah salah satu sifat iman.
Iman dalam pengertian ini juga dinyatakan dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya.” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Abu Dawud).
Budi pekerti merupakan perbuatan. Dari penjelasan di atas, nyatalah bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.
Pokok keimanan yang paling utama adalah:
Pertama, meyakini Allah SwT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Kedua, beribadah hanya kepada Allah SwT semata, ketiga, mengikhlaskan ketaatan hanya untuk Allah SwT semata, keempat, melakasanakan ajaran Islam baik secara lahir maupun batin.
Sebagaimana dikatakan oleh para ulama, empat hal ini termasuk pokok keimanan yang sangat penting yang akan mengantarkan pelakunya mendapatkan ridha Allah SwT, dimasukkan ke dalam surga, dan dijauhkan dari neraka.
Bahkan Allah SwT mengabarkan di dalam Al-Qur’an, bahwasannya dengan keimanan yang sempurna akan diraih kemuliaan di dunia dan akhirat. (QS: Al-Hadid; 19)
Dalam ayat ini Allah SwT mengabarkan bahwa siapa saja yang merealisasikan iman kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, niscaya dia akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Berkenaan dengan maksud ayat ini Rasulullah ﷺ bersabda;
إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ لَيَتَرَاءَوْنَ أَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ، كَمَا تَتَرَاءَوْنَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّيَّ الْغَابِرَ مِنَ الْأُفُقِ مِنَ الْمَشْرِقِ أَوِ الْمَغْرِبِ، لِتَفَاضُلِ مَا بَيْنَهُمْ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ تِلْكَ مَنَازِلُ الْأَنْبِيَاءِ لَا يَبْلُغُهَا غَيْرُهُمْ، قَالَ «بَلَى، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ رِجَالٌ آمَنُوا بِاللهِ وَصَدَّقُوا الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya penghuni Surga benar-benar bisa melihat penghuni kamar-kamar di surga sebagaimana kalian bisa melihat bintang timur atau barat di ufuk, karena perbedaan keutamaan di antara mereka. Mereka para sahabat bertanya, “ Wahai Rasulullah, itu adalah kedudukan para nabi yang tidak bisa dicapai oleh orang-orang selain mereka? ” Beliau menjawab, “Tentu, demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, (tapi itu juga akan diraih oleh) orang-orang yang beriman kepada Allah,dan membenarkan para rasul.” (HR: Bukhari- Muslim).
Allah SwT memerintahkan orang-orang mukmin untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan pokok-pokok keimanan yang lainnya dengan penuh keimanan yang totalitas.
Allah SwT juga menyanjung orang-orang yang konsisten dalam keimanannya. Allah SwT berfirman;
قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
“Katakanlah (hai orang-orang Mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa sertaapa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS: Al-Baqarah [2]: 136)
Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang ditrunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan);
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
“Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya,” dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa), Ampunilah kami ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS: Al-Baqarah [2]: 285).
Melalui ayat ini Allah SwT mengabarkan bahwasannya Rasul ﷺ dan orang-orang beriman yang bersama beliau, beriman kepada Allah dengan penuh totalitas dan konsisten dalam keimanannya.
Sikap konsisten mereka itu tergambar dalam ucapan mereka “kami dengar dan kami taat.”
Mereka beriman dengan hati-hati mereka, tunduk patuh dengan anggota badan mereka. Dan bersamaan dengan kokoh dan konsistennya iman dalam hati mereka, keimanan mereka bertambah setiap kali ayat-ayat Allah dibacakan kepada mereka, serta rasa takut dan rasa gentar mereka menjadi bertambah setiap kali disebutkan nama Allah.
Demikian juga hati mereka selalu bertawakal kepada Allah, bersandar kepada-Nya dalam semua urusan, dan menyerahkan semua perkara-perkara mereka hanya kepada-Nya.
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS: Al-Anfal [8]: 2-4).
Maka siapa saja yang memiliki karakter seperti ini, maka tidak ada lagi kebaikan yang harus dicapai, dan tidak ada lagi keburukan yang harus dijauhi karena mereka telah melaksanakan semua kebaikan dan menjauhi semua larangan. Dan Allah memuji mereka dengan firman-Nya, “itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.”
Tiga tingkatan orang beriman
Orang beriman itu bertingkat-tingkat dalam hal iman pada hatinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan; “Manusia itu bertingkat-tingkat dalam hal iman dan ketakwaan. Dalam hal kewalian manusia bertingkat-tingkat karena keimanan dan ketakwaan. Begitu pula dalam kekafiran dan kemunafikan bertingkat-tingkat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 11:175).
Allah SwT berfirman:
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS: Fathir [35]: 32)
Berdasarkan firman Allah di atas, maka tingkatan iman seseorang itu terbagi dalam tiga tingkatan:
Tingkat pertama; Sabiqun Muqarrabun: Yaitu orang-orang yang melaksanakan hal-hal yang wajib dan hal-hal yang sunnah, serta meninggalkan hal-hal yang haram, hal-hal yang makruh, dan hal-hal mubah yang tidak ada manfaatnya.
Tingkatan kedua, Muqtasidun: Yaitu orang-orang yang melaksanakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang haram.
Tingkat ketiga, orang-orang yang menzhalimi diri mereka sendiri: Yaitu orang-orang yang meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban Iman dan melakukan sebagian-sebagian yang diharamkan.
Masing-masing tiap tingkatan ini, para pelakunya juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Allah SwT seringkali mengaitkan iman dengan amal shalih, takwa dan sabar, adalah dalam rangka supaya tidak ada seorang pun yang mengira bahwa iman hanya cukup dengan apa yang ada di dalam hati saja.
Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata;
قَالُوۡا هٰذَا الَّذِىۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ وَاُتُوۡا بِهٖ مُتَشَابِهًا ؕ وَلَهُمۡ فِيۡهَآ اَزۡوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ ۙ وَّهُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ
“Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.” (QS: Al-Baqarah [2]: 25)
Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (QS: An-Nisa’ [4]: 122)
Iman adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan. Tidak disebut beriman kecuali dengan ucapan.
Tidak manfaat ucapan kecuali dengan beramal. Tidak ada amalan kecuali menjalankan perintah-perintah agama. Ketiga hal ini saling melazimkan. Ketiga hal ini saling terkait. Sebagaimana hadits dari An-Nu’man bin Basyir, Nabi ﷺ bersabda;
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amal shalih adalah bagian dari iman dan merupakan salah satu konsekuensi iman, karena amal-amal itulah yang akan mewujudkan iman.
Dari hal ini maka barangsiapa yang mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mukmin namun dia tidak melaksanakan yang diperintahkan Allah SwT dan Rasul-Nya berupa melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan, maka dia bukanlah orang yang jujur dalam keimanannya.
Hamba yang beriman, dalam dirinya memiliki kondisi-kondisi dan waktu-waktu dimana amal-amalnya berjumlah banyak dan konsisten dalam mengerjakannya, dan terkadang sebaliknya.
Semua ini disebabkan bertambah dan berkurangnya iman, serta kuat dan lemahnya iman dalam diri seorang mukmin. Terkadang seseorang berada di puncak imannya, yaitu mereka dalam keadaan semangat dalam melakukan suatu ibadah.
Tapi juga membahas tentang suatu kondisi, di mana iman lagi masa-masa di bawah. Bahkan untuk mengerjakan suatu ibadah itu terasa sangat malas.
Sahabat Abu Darda’ mengatakan: “Di antara tanda kefakihan seorang adalah ia senantiasa memperhatikan imannya dan segala hal yang dapat menguranginya. Dan di antara tanda kefakihan seseorang adalah mengetahui kondisi imannya, apakah sedang bertambah atau berkurang.”
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman bisa bertambah dan berkurang. Iman akan naik dengan ketaatan (perbuatan baik) dan turun dengan kemaksiatan (perbuatan buruk).”
Dahulu orang-orang pilihan dari generasi terbaik umat ini dan orang-orang yang menaruh perhatian terhadap iman di antara mereka, konsisten dengan keimanan mereka disetiap waktu. Mereka bersungguh-sungguh untuk membuat imannya bertambah, dan untuk menepis penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengurangi iman, mereka memohon kepada Allah SwT agar Dia meneguhkan keimanan mereka, dan agar Dia membuat keimanan mereka bertambah. (net)