Darimana Akar Asli Budaya Indonesia?

--

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - PENDETA Eka Darmaputera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), menyebut ada tiga lapis budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapis budaya asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:

“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …”

Teori tentang lapis budaya diungkapkan oleh sebagian kalangan untuk mengklaim bahwa ada suatu budaya asli Indonesia yang tinggi, sebelum kedatangan agama-agama ”impor”, seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Konghucu.

Sebagian yang mengaku pengikut agama lokal, menggugat: mengapa yang diakui di Indonesia, adalah agama impor semua!

Baca Juga: Jasa Raharja & Korlantas Polri Survei Kesiapan Pengamanan Nataru

Ada juga yang mengklaim, bahwa Pancasila adalah produk asli Indonesia, karena digali dari bumi Indonesia sendiri. Sebelum datangnya Hindu, Budha, Islam, Kristen dan lain-lain, katanya, di Indonesia, sudah ada peradaban tersendiri. Apa itu peradaban asli Indonesia? Wallahu a’lam.

Upaya untuk mencari yang asli Indonesia tidaklah mudah. Bahkan, patut dipertanyakan, apakah orang Indonesia itu asli hasil penyempurnaan makhluk sejenis kera asli Indonesia (hominid).

Atau,  apakah orang Indonesia juga merupakan keturunan Nabi Adam?  Yang pasti,  kata “asli” itu pun bukan “asli Indonesia”; melainkan kosa kata impor dari bahasa Arab. Jadi, siapa dan apa yang asli Indonesia?

Pujangga dan filosof Sutan Takdir Alisyahbana (STA), dalam artikelnya yang  bertajuk ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, di Majalah Pujangga Baru (1935), mengajak masyarakat untuk meninggalkan zaman prae-Indonesia yang disebutnya sebagai ”zaman jahiliyah Indonesia”.

”Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin. Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau kebudayaan yang lain. Pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaureeren Borobudur dan Prambanan...” (Sutan Takdir Alisyahbana, Majalah Pujangga Baru)

Menurut STA, Indonesia baru harus sejajar dengan negeri-negeri terkemuka di dunia. ”Bukan Indonesia musium barang kuno,” tegasnya. Untuk itu ia berseru: ”Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat,” imbau STA. (Lihat buku Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977).

Tentu saja ajakan STA mendapatkan tanggapan kritis dari berbagai pihak. Sebab, peradaban Barat kini terbukti menemui jalan buntu dan menuju pada kematian. John Mohawk, dalam buku ringkasnya, A Basic Call to Consciousness: Indigenous People’s Address to the Western World, (Penang: Citizens International, 2002), menulis:  “Today the species of Man is facing a question of the very survival of the species. The way of life known as Western Civilization is on a death path on which their own culture has no viable answers.”

Tapi, apa pun ceritanya, Indonesia kini menjadi negeri muslim terbesar di dunia. Pembukaan UUD 1945 menegaskan, Tuhan yang diakui telah menganugerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia adalah Allah, nama Tuhan yang resmi disebut dalam Al-Quran (QS 20:14). Kemanusiaan yang dicitakan adalah yang adil dan beradab; rakyat dipimpin hikmah; bukan dipimpin suara terbanyak. Cita-citanya mulia: terwujudnya keadilan sosial (al-adalah al-ijtima’iyyah).

UUD 1945 pasal 31 mencitakan terwujudnya manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Dan semua kata penting itu —  rahmat, Allah, adil, adab, hikmah, musyawarah, perwakilan, iman, taqwa, dan akhlak — asli dari Allah, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Maka, tidak ada pilihan, jika Indonesia mau menjadi negara besar, kuat, dan hebat, jangan tanggung-tanggung jadi orang “Indonesia asli”! Yakni, asli sebagai manusia, sebagai khalifatullah, sebagai hamba Allah, sebagai manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Itulah orang Indonesia asli! Asli hamba Allah, bukan hamba setan.

Dan patutlah kita simak ungkapan indah dari penyair besar Pakistan, Dr. Mohammad Iqbal: “Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka. Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.” (net)

Tag
Share