Puasa terus menerus adalah sikap berlebihan (ifrath) dan tidak pernah puasa adalah sikap meremehkan (tafrith). Maka, yang Wasathiyah adalah terkadang berpuasa kemudian berbuka. Inilah Al-Bayniyah.
Adapun tidak menikah selamanya adalah Tindakan berlebihan (ifrath), dan menikah tanpa ada batasannya adalah tindakan meremehkan (tafrith). Di antara dua hal tersebut; menikah namun memperhatikan batasan-batasan syari’at itulah yang Al-Bayniyah (berada diantara dua hal).
Di antara landasan fiqih yang berhaluan wasathiyah adalah membedakan antara maksud-maksud (Maqashid) yang mapan (Tﷺ abit) dan wasilah-wasilah (Wasail) yang berubah (Mutaghayyirat).
Menetapkan bulan baru (baik untuk awal bulan Ramadhan, Syawal dan lainya) adalah maqashid yang mapan, sedangkan metode rukyat, istikmal dan hisab adalah wasail mutaghayyirat.
Tentu tidak termasuk kebaikan (Khairiyah), bijaksana (Hikmah) dan adil (‘Adalah) dan Wasathiyah jika kita menggunakan wasilah yang justeru tidak memudahkan dan bahkan menyulitkan bagi umat (lihat: Fiqih Maqashid Syari’ah Moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, hal. 191-203).
Wujud lain dari wasathiyah adalah Al-Khairiyah (kebaikan) yakni mempercepat berbuka dan mengakhirkan sahur. Rasulullah ﷺ bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Bukhari no. 1821, 1957 dan Muslim no. 1097, 1098).
Termasuk wujud wasathiyah di dalam bulan Ramadhan dan Syawal adalah hikmah (bijaksana) dan Adil (‘Adalah) yakni makan, minum dan bernafas sesuai porsi. Nabi ﷺ bersabda; “Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sendiri. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ingin berbuat lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Lihat: Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 2135).
Wujud wWasathiyah lainnya dari syari’at adalah Istiqomah, yakni tetap membolehkan mencampuri istri pada malam puasa. Allah ta’ala berfirman yang artinya; “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isterimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan mema’afkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka, dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS: Al-Baqarah [2]: 187).
Menurut sahabat Ibnu Abbas ra., ayat di atas turun berkaitan dengan para sahabat yang apabila mereka pada malam bulan Ramadhan setelah selesai shalat Isya mengharamkan diri mereka mencampuri istri dan memakan makanan.
Kemudian ada diantara mereka (termasuk sahabat Umar bin Khattab) makan dan mencampuri istri mereka setelah shalat Isya pada bulan Ramadhan, kemudian hal tersebut diadukan kepada Rasulullah ﷺ lalu turunlah ayat tersebut (Lihat: Shahih Tafsir Jalalain hal. 44-45).
Wujud wasathiyah lainya adalah tidak berlebih-lebihan (ifrath) dan tidak meremehkan (tafrith) dalam bersadaqah. Tetapi pertengahan (Al-Bayniyah).
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengaih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar.” (QS: Al-Furqan [25]: 67). (net)