Tuntutan Bebas Guru Supriyani Dianalisis Reza Indragiri, Serba-mengambang

Selasa 12 Nov 2024 - 22:59 WIB

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menganalisis alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut bebas guru honorer Supriyani dalam perkara dugaan penganiayaan terhadap siswa SDN 5 Baito berinisial D, anak polisi dari Polsek Baito.

Sidang tuntutan perkara terdakwa Supriyani digelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Senin (11/11/2024).

Reza pun mengutip pemberitaan media yang membuat omongan JPU Kejari Konsel Ujang Sutisna yang menjadi dasar menuntut bebas guru Supriyani.

"Walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat atau mens rea," demikian ucapan JPU Ujang Sutisna.

JPU menyimpulkan bentuk tindak pidana yang menimpa Supriyani merupakan bentuk mendidik siswa, sehingga tidak ada sifat yang memberatkan.

Reza menyampaikan, pada satu sisi, redaksional tuntutan JPU mencerminkan cara pandang bahwa "actus non facit reum nisi mens sit rea", yaitu perbuatan seseorang tidak membuatnya bersalah kecuali jika terbukti adanya niat jahat.

Pada sisi lain, terbukti atau tidaknya niat Terdakwa, dia jelas akan merasa dirugikan.

"Pasalnya, di persidangan Terdakwa bersikukuh tidak melakukan perbuatan memukul sebagaimana dituduhkan JPU," ujar Reza Indragiri dalam analisis yang diterima JPNN.com, Senin.

Walau tuntutannya adalah bebas, kata Reza, namun kalimat JPU (“perbuatan pidana dapat dibuktikan” dan “mendidik”) bermakna bahwa Terdakwa paham (cognitive competence) dan berkehendak (volitional competence) untuk mengarahkan pukulannya semata-mata ke tubuh si anak.

"Pukulan yang mengenai tubuh anak itu bukan ketidaksengajaan," ucap pakar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.

Menurut Reza, ketika Terdakwa secara lengkap mempunyai dua compentence tersebut, maka kesalahannya justru berada pada level tertinggi. Artinya, pada dasarnya, jika dikenai hukuman, maka hukumannya adalah yang terberat.

"Beruntung bahwa 'mendidik' dijadikan JPU sebagai alasan pembenar atas pemukulan tersebut," tutur pakar yang pernah mengakar di STIK/PTIK itu.

Namun, Reza berpendapat bahwa kerugian tidak hanya dialami Terdakwa. Si anak, yang dalam dakwaan JPU menjadi sasaran pemukulan, pun dirugikan.

Penalarannya begini: ketika JPU mengakui tidak mampu membuktikan mens rea Terdakwa, ketidakmampuan itu malah dijadikan dasar untuk menyimpulkan -tepatnya mengasumsikan- bahwa pukulan Terdakwa pasti didorong oleh niat baik.

Persoalannya, lanjut Reza, apa niat atau tujuan Terdakwa memukul si anak? Jika memukul sebatas ekspresi amarah Terdakwa, maka perilaku itu tentu sama sekali tidak layak disebut sebagai niat baik. Justru merupakan niat jahat.

"Jadi, apakah Terdakwa benar-benar berniat baik atau sesungguhnya berniat jahat, semestinya diungkap secara terang benderang di persidangan," ujar Reza.

Jika hal itu tidak diungkap, katanya, apalagi ketika JPU langsung menyimpulkannya sebagai niat baik, justru si anak seketika terpotret sebagai anak badung dan kedegilannya itu menjadi alasan bagi Terdakwa untuk mendidiknya dengan pukulan.

Pertanyaannya, apa tindak-tanduk si anak yang ditafsirkan Terdakwa sebagai bentuk kenakalan? Dan apakah kenakalannya itu -kalau ada- memang layak untuk diganjar dengan hukuman berupa pukulan?

"Gambaran situasi serba-mengambang itu sama saja dengan memberikan stigma negatif terhadap si anak, dan itu bukanlah hal yang elok untuk dilakukan JPU," kata Reza Indragiri.

Terlepas dari perkara Terdakwa guru honorer Supriyani, kata Reza, sikap bersama perlu dikunci; apakah pemukulan (kekerasan fisik) terhadap anak hingga derajat tertentu bisa dimaklumi?

"Ketika orang tua murid di rumah tidak mempraktikkan pukulan sebagai bentuk pendisiplinan, namun guru menerapkan perlakuan sedemikian rupa di sekolah, apakah adil jika orang tua diharuskan untuk serta-merta menerima ketentuan di sekolah itu?" ucap Reza yang juga konsultan di Yayasan Lentera Anak. (jp)

Kategori :