Guru Besar UI: Gen-Z Bisa Jadi Generasi Paling Stres, Sebab..

--

Setiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Demikian halnya juga gen-Z yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Karakteristik yang berbeda itu berdampak pada pentingnya peningkatan perhatian terhadap aspek psikososial di lingkungan kerja.

Menurut Guru Besar Ilmu Kedokteran Komunitas Universitas Indonesia (UI), Prof Dewi, lingkungan kerja mulai perlu menitikberatkan pada pajanan psikososial, yakni beban kerja dan hubungan antar-rekan kerja.

Karakteristik dari gen-Z yang dimaksud sendiri adalah kecenderungan mengekspresikan keinginan untuk hal-hal baru dan lebih menantang, tak terkecuali pada pekerjaan. Kendati demikian, gen-Z belum mempunyai keterampilan dan kepercayaan diri yang cukup untuk mengelola ketidakpastian lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan kecemasan.

Prof Dewi menyebut, masalah psikososial tidak boleh diabaikan di lingkungan kerja. Berdasarkan data survei dari International Labour Organization (ILO) pada 2020-2022 tentang kekerasan dan perundungan terhadap pekerja di Indonesia, 71% di antaranya pernah mengalami kekerasan atau perundungan.

Sementara, 77% di antaranya adalah kekerasan dan perundungan psikologi. Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa 63% pekerja alami gangguan kesehatan mental merasa sedih dan tidak nyaman di tempat kerja.

Penurunan Pengelolaan Stres Menurun di Tiap Generasi
Menurut Prof Dewi, kemampuan dalam mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat kian menurun di setiap generasi. Apabila hal ini berlanjut, maka ke depannya gen-Z yang mendominasi generasi muda, akan jadi generasi paling stres.

Hal ini mengingat karakter generasi kelahiran 1997-2012 tersebut yang tak mempunyai batasan dengan individu lain, sehingga memungkinkan lebih mudah labil akibat terpaan informasi dan kondisi yang cepat berubah serta serba acak.

Prof Dewi mengingatkan pula, sangat penting untuk membuat pekerja merasa aman dan nyaman saat bekerja. Aman dalam artian tidak sakit atau celaka dan nyaman berarti merasa nyaman bekerja di lingkungan kerja maupun di hati.

"Salah satunya adalah dengan memperhatikan pajanan psikososial yang ada di lingkungan kerja, sehingga dapat segera terdeteksi bila ada masalah kesehatan mental pekerja, dan harus segera diatasi oleh pihak pihak terkait, seperti HRD, dokter perusahaan, manajemen perusahaan, dan lainnya, agar pekerja tetap produktif dan secara tidak langsung memberikan keberlangsungan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan," jelasnya.

Kedokteran okupasi, Prof Dewi menyebut, mempunyai peran penting dalam aspek psikososial untuk meningkatkan produktivitas pekerja dalam menghadapi bonus demografi tahun 2045 yang sudah dimulai sejak 2020 lalu.

Dokter dalam bidang tersebut dapat memberikan evaluasi kesehatan mental dan fisik untuk para pekerja dengan melakukan identifikasi bahaya potensial di lingkungan kerja (utamanya psikososial), pemeriksaan kesehatan karyawan, menentukan diagnosis penyakit akibat pekerjaan atau tidak, menentukan layak bekerja atau kembali bekerja, dan memberi rekomendasi yang dibutuhkan untuk mengatasi stres akibat pekerjaan; lelah akibat pekerjaan; maupun masalah kesehatan kerja lainnya.

Dia memaparkan, melalui pendekatan holistik kedokteran okupasi bisa mendukung pekerja dalam mempertahankan kesehatan mental serta fisiknya, sehingga akan meningkatkan produktivitas dan kontribusi di lingkungan kerjanya. Di samping itu, kedokteran okupasi dan tenaga kesehatan lainnya dapat memberikan pelatihan dan workshop tentang manajemen stres, keseimbangan kehidupan kerja, juga strategi meningkatkan kesejahteraan para pekerja dalam menghadapi perubahan lingkungan kerja dan tuntutannya di masa depan. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan