Kafe Kaifa
Suasana Kafe Kaifa. (Insert) mengambil air minum di trotoar Madinah.-Harian Disway-
Semuanya siap saji. Tidak ada yang masak di situ. Hanya ada pemanas.
Semua kios bernama: nama negara. Bukan nama kios. Dari sisi Masjid Nabawi nama negara itu ditulis pakai huruf Arab. Dari sisi sebaliknya tulisan latin.
Saya ke kios India: beli roti pratta. Untuk istri. Ternyata saya salah beli. Harusnya roti chennai. Yang lebih empuk.
Setelah membeli roti pratta saya bawa bungkusan itu ke sisi kiri jalan. Di situlah meja kursi ditata. Masing-masing meja untuk empat orang. Tapi kursinya sudah ditarik sana-sini. Toh banyak meja yang hanya untuk makan dua orang.
Lebih ke sana lagi meja kursinya lebih banyak. Juga tidak lagi berjajar. Sudah seperti di kafe-kafe open air di Eropa --minus bir, wine, dan minuman yang lebih keras.
Di sebelah area meja kursi inilah dibangun bistro-bistro yang lebih besar. Tanpa meja kursi.
Lebih banyak jenis makanan di kelompok bistro ini.
Beli makanannya di dalam. Makannya di meja kursi yang banyak itu. Sambil memandang langit. Atau memandang menara Masjid Nabawi di kejauhan sana.
Atau makanan dibawa pulang.
Kami pun duduk-duduk di situ. Langit di timur pun mulai memerah. Terang. Tanpa pohon. Gunung-gunung batu mulai terlihat seperti akan saling berebut wibawa.
Dari Kafe Kaifa ini terlihat gunung batu tetap yang jadi penguasa Madinah. Sebelum maupun sesudah Pemilu di Indonesia.
Heran, di Madinah, yang posisinya di utara Kakbah, matahari juga terbit dari timur.
"Gunung-gunung batu itu sebentar lagi pasti akan dihancurkan. Untuk perluasan Madinah," ujar Mas Bajuri.
"Jangan," tukas saya. Cukuplah Madinah seluas sekarang. Kalau pun melebar jangan menghancurkan pegunungan batu itu. Kelak gunung itu akan jadi kekayaan alam yang tidak bisa dibeli.
Kalau di Tiongkok ada gunung batu sedekat kota seperti Madinah pastilah sudah disulap jadi emas. Pasti akan ada lampu sorot aneka warna di waktu malam.