Cara Mengingat Kematian Menurut Imam Al-Ghazali
Cara Mengingat Kematian.-Foto: net-
Maka ketika seseorang mengingat keadaan orang lain yang sudah wafat dan mendetailkan keadaannya dalam pikiran seperti; bagaimana keadaan kematiannya, kefanaan bentuk tubuhnya, semangat dan obsesinya untuk terus hidup, kelengahannya dalam menghadapi kematian, ketergantungannya terhadap selain Allah, kepercayaan dirinya terhadap kekuatan dan masa mudanya, kecenderungannya terhadap tawa dan canda tanpa mewaspadai datangnya kematian yang tiba-tiba.
Bagaimana dahulu ia dapat berjalan kesana kemari namun sekarang kaki dan seluruh persendiannya telah hancur. Bagaimana dahulu ia fasih berbicara namun sekarang belatung telah menggerogoti lidahnya.
Bagaimana dahulu ia tertawa namun sekarang tanah telah menghancurkan gigi-giginya. Bagaimana sebulan terakhir ia sibuk menyiapkan apa yang tidak ia butuhkan dan lalai dari kematian hingga kematian datang dalam keadaan ia tidak menyadarinya.
Dibukalah tabir kedua matanya untuk melihat malaikat pencabut nyawa. Diperdengarkanlah telinganya dengan sebuah panggilan menuju surga atau neraka.
Maka pada saat itu ia dapat menyadari bahwa dirinya tidak jauh berbeda dengan orang yang telah meninggal, kelalainnya tidak jauh berbeda dengan kelalaian mereka dan akhir kehidupannya juga akan seperti akhir kehidupan mereka.
Abu Darda` berkata; “Apabila engkau mengingat seorang yang meninggal dunia maka persiapkanlah dirimu sebagaimana mereka.”
Ibnu Mas’ud berkata; “Orang yang bahagia (ahli surga) adalah orang yang mengambil pelajaran dari selain dirinya.”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkata; “Tidakkah kalian memperhatikan bahwa setiap hari kalian mengurus jenazah dan meletakkan mereka dalam sebuah lubang di tanah beralaskan debu, meniggalkan orang yang dicintai dan memutuskan amal perbuatan.”
Dengan senantiasa merenungi hal tersebut, ditambah dengan mengunjungi kuburan dan menjenguk orang sakit maka seseorang akan terus memperbaharui ingatannya terhadap kematian hingga rasa-rasanya kematian hadir di hadapannya. Dalam kondisi tersebut kecil kemungkinan seseorang akan menggantungkan dirinya pada dunia.
Meski demikian, sebersih apapun hati manusia, pasti ia pernah senang terhadap dunia. Dalam keadaan demikian seyogyanya ia segera menyadari bahwa ia pasti akan menginggalkan dunia.
Suatu ketika Ibnu Muthi’ pernah merasa takjub dengan keindahan rumahnya lalu tiba-tiba menangis. Lantas ia berkata; “Demi Allah kalau bukan karena kematian aku pasti telah bahagia karenamu. Kalaulah bukan karena sempitnya kuburan yang akan aku tempati tentulah dunia akan menyejukkan pandangan mataku.” Lalu ia menangis dengan sangat keras. (*)