Pakar UI Bagikan Tips Ciptakan Lingkungan Ramah Anak di Sekolah dan Rumah
--
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat sebanyak 25,5% anak usia 0-4 tahun telah menggunakan gawai. Persentase tersebut meningkat dua kali lipat untuk anak berusia 5-7 tahun yakni sebanyak 52,76%.
Adapun data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menunjukkan rata-rata anak usia tersebut menghabiskan waktu bermain gawai selama 6 jam 45 menit dalam satu hari. Waktu tersebut dihabiskan untuk menonton video, bermain games, dan menggunakan sosial media.
Menanggapi hal tersebut, dosen arsitektur Universitas Indonesia (UI), Paramita Atmodiwirjo mengatakan usia anak tersebut seharusnya diisi oleh banyak pengalaman belajar menghadapi lingkungan ketimbang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gadget.
Paramita banyak melakukan riset seputar anak usia dini hingga remaja. Saat menyelesaikan studi S2 di The University of Sheffield, Inggris, ia menyusun tesis berjudul The potential of domestic spaces for children's play activities.
Ia menuturkan jika lingkungan anak ramah untuk belajar, maka kesempatan eksplorasi yang dilakukan anak bisa semakin besar.
Untuk menciptakan lingkungan ramah anak baik di rumah maupun di sekolah, Paramita menyebut ada dua pendekatan yang bisa dilakukan.
Pertama, mengajak anak merasa dekat dengan lingkungan. Kedua, mengajak anak berpartisipasi bagi lingkungan.
1. Buat Kedekatan Anak dan Lingkungan
Menurut Paramita kedekatan anak dengan lingkungan bisa menjadi sumber belajar bagi mereka. Lewat lingkungan sekitar mereka, anak-anak akan mengobservasi, berinteraksi, hingga melakukan usahanya sendiri untuk mencoba dekat dengan lingkungan.
"Anak perlu memiliki kesempatan seperti ini seperti naik transportasi umum, mereka bisa belajar memanuver di kota dengan kendaraan umum tentunya dengan pengawasan dan pendampingan," tutur Paramita dalam acara International Symposium Early Childhood Education and Development (ECED) di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (16/11/2023).
Ia mengingatkan kepada orang tua atau guru untuk tidak menganggap bahwa anak memiliki keterbatasan dalam berpikir. Menurutnya, anak-anak terkadang memiliki ide luar biasa yang tak pernah dipikirkan.
"Kunci pertama yang penting adalah bagaimana kita berpikir agar lingkungan yang kita sediakan untuk anak sehingga dapat melibatkan anak secara bebas sehingga anak bisa mendapatkan meaningful experience bagi mereka," tuturnya.
2. Ajak Anak Berpartisipasi bagi Lingkungan
Sebelumnya Paramita dan tim melakukan riset pada beberapa siswa dengan menggunakan ruang perpustakaan sebagai wadah dalam merealisasikan bentuk partisipasi anak.
Lebih tepatnya, anak-anak yang terlibat dalam proyek riset diajak melakukan perbaikan fisik perpustakaan sekolah dengan cara merancang dan merenovasi ruangan.
Hasil dari partisipasi anak dalam merenovasi ruang menunjukkan adanya peningkatan kontribusi positif anak. Dengan keterlibatan dalam pengembangan, pengelolaan dan pemeliharaan ruang perpustakaan perasaan bangga anak menjadi meningkat.
Selain itu, siswa menjadi dapat mengambil peran sosial kemudian mendorong teman-temannya untuk mengunjungi perpustakaan dan mendorong guru mereka untuk memberikan lebih banyak akses ke perpustakaan dan untuk mengembangkan sistem manajemen perpustakaan yang efektif.
"Dengan mendorong keterlibatan dan partisipasi anak-anak, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dan bermakna bagi anak-anak. Dan mempersiapkan mereka menjadi warga negara yang aktif, bijaksana dan bertanggung jawab," katanya. (*)