Pakar Yakin Prabowo Dukung Kejagung Kejar Pengembalian Kerugian Negara
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan sambutan usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian negaratindak korupsi fasilitas ekspor minyak kelapa sawit sebesar Rp 13,2 triliun di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Senin (20/10/2025).-Foto: net-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, melihat kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam pengembalian uang kerugian negara dalam kasus sawit, merupakan bentuk dukungan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) agar tidak ragu-ragu mengejar pengembalian kerugian negara akibat korupsi.
“Kehadiran Presiden ini sebagai bentuk bukti nyata, baik terhadap optimalisasi mengejar aset koruptor maupun dukungan kepada Kejagung agar tidak ragu-ragu menyita aset (koruptor) yang bernilai ekonomis untuk kepentingan negara,” kata Hibnu.
Selama ini korupsi sudah merajalela di semua sektor dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
Dengan kondisi ini, menurut Hibnu, Presiden Prabowo juga menginginkan agar ada upaya maksimal untuk mengembalikan kerugian negara yang dicuri dari perilaku korupsi.
“Ini sebagai kepala negara, Presiden Prabowo ingin menegaskan bahwa aset yang dikorupsi bisa dikembalikan kepada masyarakat,” ungkap dia.
Dengan demikian, lanjut Hibnu, aparat penegak hukum lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kepolisian juga harus mengikuti langkah Kejagung, yang mengejar pengembalian kerugian negara akibat korupsi secara maksimal.
“Aparat penegak hukum harus bahu membahu dalam mengembalikan aset yang hilang oleh koruptor,” tegas dosen pengajar Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto ini.
Semangat pemberantasan korupsi, kata Hibnu, tidak hanya mempidanakan pelaku. Lebih dari itu, pengusutan korupsi juga harus mengupayakan pengembalian kerugian negara.
“Dalam hal ini Kejagung melakukan perampasan-perampasan, sepanjang bernilai ekonomis sebagai pengganti kerugian (aset) negara yang hilang,” kata dia.
Aset pelaku yang bisa bergerak bisa berupa barang bergerak, barang tidak bergerak, berwujud, maupun tidak berwujud. Termasuk dalam bentuk uang.
Pada masa sebelumnya, menurut Hibnu, pengembalian kerugian negara akibat korupsi tidak maksimal.
Dijelaskannya, pada undang-undang sebelumnya, kerugian negara ini dihitung sebagai utang pihak-pihak terdakwa.
“Saat ini negara yang aktif dalam menyita barang, aset yang bernilai ekonomis, baik dalam tempus delicti dan di luar tempus delicti dirampas sebagai pengembalian kerugian negara. Dalam konteks ini kejelian penegak hukum sangat menentukan besaran yang bisa dioptimalisasi untuk dikembalikan pada negara,” jelas Hibnu. (jp)