Dua Tahun Thufan Al-Aqsha: Runtuhnya Keangkuhan Israel

ilustrasi -foto :internet-

RADARLEBONG.BACAKORAN.CO- DUA tahun telah berlalu sejak 7 Oktober 2023, tanggal yang akan selalu dikenang sebagai titik balik sejarah Palestina dan dunia. Apa yang disebut sebagai Badai Aqsa bukan sekadar peristiwa militer atau bentrokan bersenjata, tetapi momentum yang mengubah arah sejarah, mengguncang tatanan politik global, dan membuka mata dunia terhadap wajah asli kolonialisme modern bernama Israel.

Dilansir dari Hidayatullah.com, Sejak hari itu, Israel kehilangan pijakan moral dan legitimasi politiknya. Dunia yang selama ini disuguhi propaganda tentang “hak mempertahankan diri” mulai sadar bahwa apa yang terjadi di Gaza bukanlah perang dua pihak yang setara, melainkan pembantaian terhadap rakyat tertindas yang selama lebih dari tujuh dekade hidup di bawah pendudukan brutal. Genosida yang dilakukan Israel di Gaza, yaitu penghancuran rumah sakit, pembunuhan anak-anak, dan blokade terhadap bantuan kemanusiaan menjadi saksi nyata dari runtuhnya moral kemanusiaan rezim Tel Aviv dan sekutunya.

Kini, dua tahun kemudian, Israel semakin tersisih dan terpojok di mata dunia. Rezim ini telah kehilangan simpati internasional dan berubah menjadi common enemy, musuh bersama bagi mayoritas negara anggota PBB dan masyarakat sipil global. Dari jalan-jalan di Jakarta, London, New York hingga Johannesburg, jutaan orang turun ke jalan membawa satu pesan yaitu akhiri penjajahan, bebaskan Palestina.

Namun, di tengah penderitaan yang tak terbayangkan, rakyat Gaza memperlihatkan kekuatan yang luar biasa. Mereka tidak menyerah pada kehancuran, tidak tunduk pada ketakutan, dan tidak kehilangan martabat meski dunia sering membiarkan mereka sendirian. Keteguhan itu, justru di saat paling gelap, menjadi cahaya bagi kemanusiaan. Gaza mengajarkan dunia arti sejati dari keberanian, keteguhan, dan iman pada keadilan.

Dari reruntuhan Gaza, dunia menyaksikan lahirnya gelombang empati dan solidaritas global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gerakan masyarakat sipil, lembaga kemanusiaan, akademisi, pemimpin agama, hingga parlemen dunia membentuk poros baru kesadaran global yang menegaskan bahwa penjajahan dan genosida tidak bisa lagi ditoleransi. Empati itu berubah menjadi energi politik dan moral untuk melawan kejahatan kemanusiaan yang sistemik dan melawan hegemoni yang selama ini membungkam suara kebenaran.

Dalam gelombang kebangkitan itu, Indonesia berdiri di barisan depan. Dengan landasan konstitusional “menentang segala bentuk penjajahan di atas dunia”, Indonesia memegang peran penting dalam menggalang kekuatan global untuk kemerdekaan Palestina. Gerakan masyarakat sipil, parlemen, dan diplomasi resmi Indonesia telah berulang kali menegaskan posisi yang tidak tergoyahkan bahwa perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan, dan diam terhadap penjajahan adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani. MUI, ARI-BP, seluruh lembaga filantropi dan bela Palestina dan berbagai elemen Masyarakat Indonesia telah dan terus menunjukkan dedikasinya untuk bela Palestina.

Namun, di tengah perubahan besar ini, muncul manuver politik baru dari Israel yaitu Abraham Shield Plan yang dipromosikan oleh Benjamin Netanyahu. Di balik retorika “perdamaian” dan “stabilitas kawasan”, rencana ini sejatinya adalah jebakan geopolitik yang bertujuan memperluas legitimasi Israel di dunia Islam. Melalui skema ini, Netanyahu berusaha menciptakan zona aman bagi Israel dengan menyeret negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, untuk secara tidak langsung mendukung kelanggengan penjajahan. Ini bukan rencana perdamaian, melainkan reinkarnasi kolonialisme yang disamarkan dalam diplomasi.

Di sisi lain, perkembangan politik menunjukkan bahwa Hamas, meskipun terus ditekan dan diserang, mulai membuka ruang diplomasi yang signifikan. Kesediaannya untuk menerima sejumlah poin dari 20 butir proposal yang pernah diajukan Donald Trump mencerminkan kemajuan politik dan diplomatik yang matang. Hamas menunjukkan bahwa perjuangan mereka bukanlah fanatisme, tetapi komitmen untuk kemanusiaan dan keadilan. Langkah ini merupakan isyarat bahwa Palestina siap berjuang bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan diplomasi yang bermartabat.

Jika Israel benar-benar menyetujui langkah ini, maka tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan pendudukan. Israel harus meletakkan senjata, menarik seluruh pasukan dari wilayah Palestina, dan membebaskan semua tawanan, baik yang hidup maupun yang telah gugur. Blokade terhadap Gaza harus diakhiri, dan tanggung jawab atas kehancuran yang ditimbulkan harus ditunaikan. Inilah ukuran sejati komitmen terhadap perdamaian.

Dengan demikian, dunia kini menyaksikan kekalahan moral dan politik Israel, dan pada saat yang sama, kemenangan moral dan diplomatik Palestina. Sejarah sedang menulis babak baru di mana yang tertindas berdiri tegak, dan yang menindas mulai runtuh oleh beratnya kejahatan yang mereka lakukan sendiri. Abraham Shield Plan Netanyahu kehilangan makna dan legitimasi. Yang kini berlaku bukan lagi logika dominasi, melainkan logika kemanusiaan dan kebebasan.

Refleksi dua tahun Badai Aqsa ini juga mengandung pesan penting tentang tanggung jawab moral dan politik dunia, terutama bagi Indonesia dan seluruh masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan. Perjuangan belum berakhir; ia justru memasuki fase baru yang menuntut strategi yang lebih terarah, konsisten, dan berkelanjutan. Terkait dengan itu, berikut saya sampaikan beberapa rekomendasi penting:

1. Untuk Pemerintah Indonesia:

Pertama, Indonesia perlu meningkatkan tekanan diplomatik internasional agar Dewan Keamanan PBB dan lembaga dunia lainnya segera menjatuhkan sanksi terhadap Israel atas kejahatan genosida dan pelanggaran berat hukum internasional.

Kedua, memperkuat kerja sama strategis dengan negara-negara yang telah mengakui Palestina serta mendorong negara lain untuk melakukan hal serupa, terutama di kawasan Asia-Pasifik dan Eropa.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan