Sebut Guru Beban Negara, Menkeu Sri Mulyani Dikritik PGRI

Sebut Guru Beban Negara, Menkeu Sri Mulyani Dikritik PGRI-foto :jpnn.com-
JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa guru beban negara mengundang reaksi berbagai kalangan, salah satunya PGRI. Ketua Badan Khusus Komunikasi dan Digitalisasi Organisasi Wijaya mengatakan,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyesalkan pernyataan Menkeu Sri Mulyani bahwa "apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi masyarakat" yang viral dimaknai profesi guru sebagai “beban negara”.
"Pernyataan Ibu Menkeu Sri Mulyani berlebihan dan menyakitkan, mengingat fakta bahwa guru, terutama yang berstatus honorer dan mengabdi di daerah pelosok, justru menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa," terang Wijaya dalam pernyataan sikap PGRI, Selasa (19/8).
Dia membeberkan, berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada 2022 jumlah guru honorer mencapai 704.503 orang, ditambah 141.724 guru tidak tetap (GTT) kabupaten/kota serta 13.328 GTT provinsi.
BACA JUGA:KPK Periksa Pihak PT PP Terkait Dugaan Pengadaan Fiktif Rp80 M
Untuk mengurangi kesenjangan, pemerintah telah mengangkat 774.999 guru menjadi ASN PPPK hingga awal 2024, dengan target mencapai 1 juta guru PPPK. Jabatan guru bahkan mendominasi ASN PPPK secara nasional, dengan jumlah mencapai sekitar 770 ribu orang.
Meski demikian, pemerataan guru di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) masih menjadi tantangan besar. Rasio murid dan guru secara nasional memang relatif baik di angka 16:1, tetapi distribusinya tidak merata.
"Hingga kini, banyak guru yang harus mengajar lintas mata pelajaran karena keterbatasan tenaga pendidik di pelosok," ujar Wijaya. Lebih lanjut dikatakan, pengabdian guru di lapangan memperlihatkan fakta berbeda dari stigma “beban negara”.
Di Sigi, Sulawesi Tengah, guru SMPN 16 mendaki bukit dan mengunjungi rumah siswa hingga tiga kali seminggu karena ketiadaan internet dan listrik.
Di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, seorang guru honorer bernama Rudi Hartono setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit bambu, bahkan menggendong muridnya ketika arus deras agar mereka tetap bisa bersekolah.
Sementara di Lebak, Banten, Jubaedah sudah 30 tahun berjalan kaki menembus jalan hutan, meski pernah terperosok jurang, demi memastikan anak-anak di desanya tetap belajar. Selain itu, pemerintah sebenarnya sudah menetapkan tunjangan khusus setara satu kali gaji pokok bagi guru yang bertugas di daerah sangat tertinggal.
Namun realisasi di lapangan masih menghadapi kendala, baik dari segi distribusi anggaran maupun ketepatan sasaran. "PGRI mendesak pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan pernyataan publik," tegas Wijaya.
Alih-alih melontarkan ucapan yang merendahkan martabat dan menyakiti guru, kebijakan seharusnya diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan, percepatan pengangkatan honorer menjadi ASN PPPK, serta pemenuhan hak-hak guru sesuai amanat Undang-Undang.
"Kalau mau disebut beban negara, yang patut disebut sebagai beban negara adalah mereka yang memakan dan menghabiskan uang negara tanpa tanggung jawab, seperti para koruptor," seru Wijaya.