Universitas Haji: Dari Ibadah ke Revolusi Intelektual

Perjalanan Haji tahun 1900 - 1920 melalui kapal.-(Foto:Koleksi Foto G. Eric dan Edith Matson)-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Banyak jamaah haji kembali dengan semangat antikolonial, membawa cetak biru perlawanan, memulai gerakan pendidikan dan menyasar akar kebodohan umat.
SETIAP tanggal 10 Zulhijjah, gema takbir menggema di penjuru Nusantara. Umat Islam berkumpul di lapangan, menunaikan salat Iedul Adha, lalu menyembelih hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Namun, di balik ritual ini tersimpan sejarah panjang dan lapisan makna yang lebih dalam. Jejaknya menembus ruang spiritual, sosial, hingga politik.
Dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, umat Islam memetik pelajaran tentang ketundukan total kepada Sang Pencipta. Tapi di bumi Indonesia, Iedul Adha dan ibadah haji yang menyertainya juga menjadi jalan menuju kesadaran kolektif dan perubahan zaman.
Sejak abad ke-17 dan memuncak pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, umat Islam dari Hindia Belanda telah menunaikan ibadah haji dalam jumlah yang signifikan.
Perjalanan ke tanah suci kala itu bukan perkara mudah—berbulan-bulan menempuh samudra dengan kapal layar, menghadapi risiko penyakit dan kematian.
Namun, bagi mereka, haji bukan sekadar ritual rukun kelima. Ia adalah perjalanan menimba ilmu, membuka cakrawala pemikiran, dan menyerap energi keislaman dari seluruh dunia. Mekkah dan Madinah menjadi ruang pertemuan antarmazhab, ideologi, dan strategi perjuangan.
Di sana, para haji dari Nusantara belajar langsung dari ulama-ulama besar dan bersentuhan dengan gerakan pembaruan seperti Salafi, Wahabiyah, dan Pan-Islamisme.
Haji menjadi “universitas terbuka” umat Islam global—pusat pendidikan lintas batas yang membentuk generasi pemimpin dan pembaru.
Pemerintah kolonial Belanda menyadari potensi transformatif ini. Mereka mencurigai para haji sebagai agen perubahan yang bisa mengguncang status quo kolonial.
Dalam banyak catatan intelijen, istilah “Haji Radikal” digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang sekembalinya dari Mekkah justru menjadi lebih kritis, berani, dan aktif dalam perlawanan sosial maupun politik.
Pemerintah Belanda bahkan membentuk badan khusus untuk mengawasi para haji dan memperketat aturan keberangkatan ke tanah suci.
Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan: banyak dari para haji ini kembali dengan semangat antikolonial, membawa cetak biru perlawanan, dan memulai gerakan pendidikan yang menyasar akar kebodohan umat.
Salah satu tokoh yang lahir dari universitas haji ini adalah Syaikh Ahmad Surkati, seorang ulama besar asal Sudan yang belajar di Mekkah dan kemudian menetap di Hindia Belanda.