Ini Peran 2 Tersangka Kasus Longsor Tambang Tewaskan 19 Pekerja di Cirebon

Ini Peran 2 Tersangka Kasus Longsor Tambang Tewaskan 19 Pekerja di Cirebon-foto :jpnn.com-
JAKARTA.koranradarlebong.co- Polisi telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam peristiwa longsor tambang galian C Gunung Kuda Cirebon yang menewaskan belasan orang pekerja pada Jumat (30/5).
Kapolresta Cirebon Kombes Sumarni menjelaskan kedua tersangka ialah AK selaku ketua Koperasi Al-Azariyah sekaligus pemilik tambang.
Satu tersangka lainnya ialah AR, kepala teknik tambang yang bertugas sebagai pengawas operasional di lapangan.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap delapan orang saksi kemudian dari serangkaian penyidikan itu, kami menetapkan dua orang tersangka," kata Kombes Sumarni, Minggu (1/6/2025).
BACA JUGA:Turun ke Jalan, Solidaritas Pekerja Dorong Kejagung Usut Tuntas Kasus Sritex
Kedua tersangka disebut tetap menjalankan kegiatan pertambangan, meski telah menerima surat larangan dari Dinas ESDM setempat.
Larangan itu diterbitkan pada 8 Januari dan diperkuat dengan surat peringatan kedua pada 19 Maret 2025, karena kegiatan tambang belum mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
"Sudah dua kali dikeluarkan surat larangan dan peringatan, tetapi tidak diindahkan," ungkapnya.
Menurut Sumarni, tersangka AR sebagai pengawas di lapangan menjalankan perintah AK, tanpa mengindahkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hingga akhirnya insiden longsor di Gunung Kuda terjadi serta menyebabkan korban jiwa.
Dari hasil penyelidikan, longsor terjadi saat sejumlah pekerja tengah menambang material batu gamping dan tras.
"Tanah tebing runtuh dan menimbun para pekerja beserta alat berat dan kendaraan operasional," ujarnya.
Dalam kasus ini, pihaknya menyita sejumlah barang bukti yakni lima unit dump truck, empat ekskavator, dan dokumen terkait izin usaha tambang dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Namun, Sumarni menyebut bahwa izin usaha tersebut tidak mencakup RKAB, yang menjadi syarat utama untuk melakukan aktivitas tambang produksi secara legal di Indonesia.
Kedua tersangka dijerat Pasal 98 dan 99 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar.