Antara Idealisme dan Realitas dalam Pandangan Islam

Antara Idealisme dan Realitas.-foto: net-
Ketika realitas bertentangan dengan ajaran Islam, maka tugas umat bukan menyesuaikan diri dengan realitas, melainkan mengubahnya. Islam tidak mengajak umatnya lari dari kenyataan, tetapi menghadapinya untuk mengubah kenyataan menuju kondisi yang diridhai Allah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat dalam menghadapi realitas jahiliyah di masa itu.
Pun, jika ada sebagian masyarakat mengangkat suara menyerukan perubahan sistem, itu bukanlah bentuk pelarian dari realita, tetapi refleksi dari kesadaran mendalam akan kerusakan yang sistematis.
Mereka menyadari bahwa problematika umat bukanlah semata-mata bersumber dari perilaku individu, melainkan dari sistem kehidupan yang mengatur mereka. Ketika sistem yang berlaku memberi ruang bagi kemaksiatan, maka sejatinya ia turut memperparah keburukan itu.
Islam menjawab persoalan ini bukan hanya dengan hukum haram semata, tetapi dengan sistem menyeluruh yang menutup semua celah keburukan, dari hulu hingga hilir, dari individu hingga negara.
Ketegasan ini bukan karena Islam keras, melainkan karena Islam menyayangi umat manusia dan ingin menyelamatkan mereka dari kehancuran yang sistematis.
Demikian pula dengan realitas konsep sekularisme yang sekarang berlaku, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan publik.
Dalam pandangan syariat, ide ini tidak bisa dibenarkan karena secara fundamental bertentangan dengan Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Sekularisme membatasi peran wahyu hanya pada ruang pribadi, sementara Islam justru diutus untuk menerangi seluruh penjuru kehidupan: dari mulai bangun tidur, membangun rumah tangga hingga membangun negara.
Dalam “Maqashid Asy-Syari‘ah Al-Islamiyah”nya Syaikh Ibnu Atsur digarisbawahi pentingnya pemahaman yang jernih terhadap realitas sebelum melakukan perubahan.
Tanpa pemahaman yang dalam dan menyeluruh terhadap kondisi yang ingin diubah, perubahan itu akan kehilangan arah dan substansi.
Syaikh Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur menjelaskan bahwa syariat memiliki dua pendekatan dalam menyikapi realitas. Pertama, maqam “taghyirul ahwal al-fasidah” yakni upaya mengubah kondisi-kondisi yang rusak dan menyatakan kebatilannya. Allah berfirman dalam:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257).
Dan firman Allah Ta’ala: