Pengamat Sebut Desakan Purnawirawan TNI untuk Pecat Wapres Gibran Politis

Pengamat hukum dan politik yang juga mantan Ketua Komisi III DPR Pieter C. Zulkifli Simabuea.-foto: net-
Dia mengatakan TNI sebagai institusi sejatinya telah menetapkan garis tegas, yaitu netral dalam politik praktis. Maka ketika para purnawirawan yang notabene masih memiliki jejaring kuat dalam tubuh militer bersikap seolah menjadi oposisi formal terhadap hasil pemilu.
"Publik bisa menilai ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga manuver politik. Dan celakanya, manuver semacam ini hanya menambah runyam suhu demokrasi yang sedang rapuh," katanya.
Yang lebih disayangkan, gugatan terhadap Gibran tidak hanya menyasar pribadi, tetapi juga menyeret keabsahan proses pemilu secara keseluruhan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) lembaga tertinggi dalam urusan sengketa pemilu telah memutus perkara ini.
"Meskipun kita bisa memperdebatkan kualitas moral atau etik suatu keputusan, namun dalam tatanan negara hukum, putusan MK adalah final dan mengikat," katanya.
Pieter Zulkifli mengamini demokrasi memang tidak menjamin hasil yang memuaskan semua pihak, tetapi demokrasi menuntut kedewasaan menerima hasilnya, sekalipun pahit.
"Apabila setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan atau delegitimasi, maka kita sedang menggali lubang bagi kehancuran sistem itu sendiri," kata dia.
Dia menilai saat ini bangsa justru lebih membutuhkan suasana tenang untuk memulai transisi pemerintahan dengan baik. Fokus utama mestinya bukan pada tarik-menarik kursi kekuasaan, tetapi bagaimana pemerintahan baru bisa menjawab tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, dan situasi geopolitik yang kian mencekam.
"Kritik tetap penting. Bahkan harus. Namun, kritik yang membangun bukan yang menyeret institusi ke tengah badai, apalagi menggiring publik pada ilusi bahwa semua hasil demokrasi bisa dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan harapan sebagian pihak," tegas Pieter Zulkifli.
Dia mengatakan para purnawirawan yang kini tampil di ruang publik sesungguhnya memiliki posisi istimewa. Dengan pengalaman, reputasi, dan kebijaksanaan yang mereka miliki, kontribusi strategis bisa diberikan dalam bentuk nasihat, evaluasi, dan pemikiran kebangsaan yang mencerahkan.
"Bukan dalam bentuk tuntutan emosional yang berpotensi memecah belah," kata dia.
Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan masalah seperti tantangan ekonomi, ketimpangan sosial, krisis iklim, hingga tekanan geopolitik global. Sehingga, yang dibutuhkan justru ketenangan politik dan kepemimpinan yang transformatif.
"Bukan kegaduhan baru yang hanya memperpanjang deret frustrasi publik terhadap elite," ujarnya.
Pieter Zulkifli lantas mengutip pernyataan Aristoteles, yakni orang yang terus mencari kesalahan orang lain akan kehilangan waktunya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kata dia, energi bangsa semestinya diarahkan pada pembenahan masa depan, bukan pengulangan sengketa masa lalu.
Dia menekankan transisi pemerintahan adalah momen penting untuk meletakkan fondasi baru yang lebih kuat. Sedangkan tugas kekuasaan bukan memperbaiki kesalahan di masa lalu, tetapi memperbaiki arah untuk masa depan.
Pieter Zulkifli juga menegaskan baik pemerintah yang akan datang, maupun para tokoh bangsa, memiliki tanggung jawab yang sama. Antara lain, menjaga muruah demokrasi, merawat ketenangan publik, serta membangun kepercayaan rakyat terhadap sistem.