Judicial Review UU TNI oleh Perwira Aktif Dinilai Upaya Sistematis Kembalikan Dwifungsi ABRI

Ketua Centra Initiative Al Araf soal UU TNI. -Foto: dok. Centra Initiative-
RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan mempersoalkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2025 Nomor 35 di Jakarta, 26 Maret 2025.
"Kami menilai UU TNI memiliki cacat formal karena pembahasan dan pengesahannya yang dilakukan terlalu cepat. Pemerintah dan DPR sangat tergesa-gesa dan terkesan menutup ruang perubahan mendasar UU TNI sebagaimana mandat Reformasi sehingga menyisakan banyak masalah substansial," kata juru bicara koalisi sekaligus Ketua Centra Initiative, Al Araf, Jumat (18/4/2025).
Koalisi menilai revisi UU TNI juga tidak dirancang untuk mewujudkan transformasi tentara yang profesional dan modern. Agenda modernisasi alutsista, kesejahteraan prajurit, reformasi peradilan militer justru tidak menjadi agenda pembahasan dalam revisi UU TNI.
Justru yang terjadi sebaliknya, revisi UU TNI menurutnya bertentangan dengan upaya profesionalisme militer dengan melegalisasi ruang untuk menduduki jabatan sipil (dwifungsi) dengan dalih operasi selain perang, yang justru selama ini ilegal karena melanggar UU TNI itu sendiri.
"Koalisi mencatat, ada penyelundupan prinsip dasar yang harus ditolak, yakni tugas operasi militer selain perang (OMSP) tidak lagi memerlukan keputusan politik negara, sebagaimana dimuat dalam Pasal 7 Ayat (4)," kata Al Araf.
Sementara, di dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004, tugas OMSP harus melalui keputusan politik negara, yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR.
Penjelasan Pasal 7 Revisi UU TNI, militer dapat melakukan OMSP hanya dengan cara pemerintah menginformasikan saja kepada DPR. Itu artinya, kata dia, militer bisa masuk kembali dalam menjaga keamanan dalam negeri dan wilayah sipil dengan ruang yang lebih luas untuk menghadapi ancaman yang ada, seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru.
"Pasal ini akan memperluas masuknya militer dalam wilayah sipil. Secara politik, Pasal ini menjadi legitimasi dan justifikasi dari praktik penyimpangan yang selama ini terjadi, di mana militer sudah mulai terlibat dalam pelaksanaan program pemerintah, seperti program cetak sawah, ketahanan pangan, menjaga Proyek Strategis Nasional, dan lainnya," tuturnya.
Jika membaca pasal tersebut, lanjutnya, secara genealogi kekuasaan Pemerintah saat ini akan menggunakan militer untuk menyukseskan program pemerintahan, seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan dalih operasi selain perang. "Ini yang sering disebut dengan sekuritisasi," ucapnya.
Dia menyebut pengaturan OMSP yang akan diatur lebih lanjut dalam PP atau Perpres sebagaimana diatur UU TNI yang baru tidak membuat UU TNI akan memberikan fungsi delegasi yang lebih baik dalam mengatur TNI ketika menjalankan OMSP.
Hal itu karena penjelasan pengaturan tentang OMSP dalam UU TNI baru sudah menjelaskan bahwa untuk melaksanakan operasi selain perang, pemerintah cukup menginformasikan saja kepada DPR.
"Karena itu, PP dan Perpres yang akan mengatur hal ini tidak bisa menabrak Penjelasan itu. UU TNI pada dasarnya bermasalah dan tetap membuka ruang besar kembalinya militer masuk dalam wilayah sipil," ujar dia.
Menurut koalisi, pengaturan UU TNI yang baru ini tidak sejalan dengan Konstitusi dan membingungkan secara normatif. Di dalam Konstitusi, Presiden adalah penguasa tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara, sehingga Presidenlah yang punya otoritas mengerahkan kekuatan militer dalam menjalankan operasinya.
Di sisi lain, sejatinya, hakikat militer itu untuk menjalankan operasi untuk perang karena militer dididik, dilatih, dan didoktrin untuk perang, dan karena itu pula militer menjadi alat pertahanan negara.