Revisi KUHAP, Superioritas Penyidikan Menghilangkan Pengawasan & Pemenuhan Hak Tersangka

Seminar "RUU KUHAP: Masa Depan Penegakan Hukum Pidana di Indonesiaā€¯ yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil dan FORI Pascasarjana KSI X di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (6/3). -foto: net-

Dia lantas mengingatkan semangat revisi KUHAP ialah membangun perlindungan hak-hak warga negara dari upaya abuse of power, baik dari penyidik, penuntut, maupun kekuasaan kehakiman.

“Selama ini nyaris terkait penyidikan itu kontrol pengawasannya tidak ada. Revisi KUHAP ini harus memberikan ruang untuk kontrol dan pengawasan. Siapa yang mengawasi siapa itu penting. Entah nanti dalam KUHAP pengawasannya dalam bentuk koordinasi, dominus litis pada kejaksaan atau hakim komisioner, itu penting. Kalau tidak, kesewenang-wenangan yang selama ini terjadi oleh penyidik kepolisian akan terus terjadi,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Hukum UI Dr. Febby Mutiara Nelson mengungkapkan sejumlah negara memiliki praktik yang berbeda perihal koordinasi penyidikan. Febby menyebut Prancis misalnya, tugas dan wewenang aparat penegak hukum diatur dalam the French Code de Procedure Penale (CPP).

Menurut dia, dalam melaksanakan tugas penyidikan, polisi berada di bawah arahan jaksa. Dalam menjalankan tugas tersebut, lanjut dia, jaksa memberikan arahan dan mengawasi penahanan yang dilakukan polisi.

“Untuk tindak pidana serius dan kompleks, jaksa memproses perkara tersebut dan bertanggung jawab atas investigasi,” kata Febby.

Kondisi berbeda terjadi di Belanda, yang menggunakan inquisitorial system. Febby menguraikan dalam hal penyidikan dan penuntutan, kewenangan tertinggi dipegang oleh Board of Prosecutors General, yaitu komisi yang terdiri dari 3-5 penuntut umum.

Ini merupakan pemimpin lembaga penuntutan di Belanda dan memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaan penyidikan dan penuntutan.

“Pada perkara serius jaksa terlibat langsung dalam penyidikan. Dalam praktik, jaksa secara rutin bersama polisi mengambil berbagai keputusan strategis terkait lingkup penyidikan, pelaksanaan upaya paksa dan juga memeriksa orang dalam penyidikan,” papar Febby.

Dia menambahkan bahwa di Amerika Serikat, model koordinasi antara polisi dan jaksa bersifat horizontal. Ini berbeda dengan Belanda dan Prancis yang menerapkan sistem vertikal.

Meski sejajar dengan kepolisian, katanya, jaksa di Amerika Serikat berperan sebagai penjaga pagar bagi setiap perkara pidana yang diterimanya.

"Pada akhirnya, jaksa yang menentukan pasal yang akan didakwakan dan juga kecukupan alat bukti," kata dia.

Menilai dari sejumlah sistem yang ada di berbagai negara itu, Febby merekomendasikan peningkatan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam revisi KUHAP.

Koordinasi tersebut dapat berupa pembentukan forum responden dan koordinasi, seperti Mahkejapol (forum penyidikan dan penuntutan), gelar perkara, dan lainnya.

Selain itu, lanjut dia, diperlukan penguatan mekanisme pengawasan dalam sistem peradilan pidana yang dapat berupa perluasan praperadilan atau pembentukan hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan (HPP).

“Rekomendasi lainnya, yaitu efisiensi dalam proses penegakan hukum, pembatasan waktu dengan pemanfaatan teknologi informasi,” kata Febby. (jp)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan