Kompor Bahlil

Catatan Dahlan Iskan-foto :disway.id-

Masalahnya: cara. Keputusan Bahlil ini dianggap bahlul: terlalu mendadak. Tidak pakai transisi. Tidak bertahap.

 

Cara beli harus pakai KTP hanya akan menambah keruwetan. Menambah kesulitan. Bukankah tidak ada jenis KTP khusus orang mampu dan KTP khusus untuk orang miskin.

 

Pemakaian KTP untuk beli si melon pastilah cara asal-asalan. Sama juga dengan ide tabung gas diberi warna. Merah untuk orang miskin, hijau untuk yang tidak miskin. Cara ini terbukti gagal total saat pupuk bersubsidi diberi warna pink.

 

Penyaluran pupuk bersubsidi kini terlihat lebih tertib. Pakai kartu pupuk. Pemilik sawah lebih dua hektare tidak akan diberi kartu. Mereka harus beli pupuk nonsubsidi.

 

Pun penjualan bensin bersubsidi. Anda sudah tahu. Lama-lama juga kian terarah. Mekanisme di stasiun pompa bensinnya sudah kian mapan.

 

Pupuk bersubsidi beres. Bensin subsidi juga beres. Kini meningkat ke elpiji bersubsidi –dengan cara yang sama sekali tidak belajar dari keberhasilan pupuk dan bensin.

 

Heboh elpiji ini, sayangnya, tidak menyadarkan kita pada ide lama: kompor listrik. Semua negara maju sistem dapurnya pakai kompor listrik. Kenapa kita belum mau mengarah ke sana.

 

Aneh. Tiap rumah perlu elpiji. Tidak ada jaringan pipa elpiji ke rumah-rumah. Elpiji masih disalurkan pakai cara paling kuno: dikirim lewat angkutan mobil dan motor.

Tag
Share