Menjaga Lisan Meniti Jalan Keselamatan

--

MASIH ingat kasus pembunuhan di Pasuruan Jawa Timur, tepatnya di Desa Randupitu Kecamatan Gempol, Selasa (7/11/2023). Pembunuhan berlatar belakang hutang-piutang itu ternyata menyisakan sebuah sisi yang menarik, dimana pelaku nekat merencanakan pembunuhan itu karena sakit hati dengan ucapan dan perkataan korban.

Ada juga kasus pembunuhan seorang pelajar di Kepahiang, Bengkulu. Pelajar berusia 17 tewas mengenaskan dengan lebih dari 20 luka tusuk setelah dihabisi temannya yang sakit hati dengan candaan korban.

Dari dua kasus berdarah tersebut ada sebuah benang merah yang bisa diambil sebagai pelajaran, bahwasannya lidah yang tidak bertulang itu mempunyai efek dahsyat jika tidak dikendalikan dengan baik.

Lihat betapa banyak kejadian besar seperti perang dan sebagainya di berbagai sejarah peradaban dunia yang pemicunya tidak jarang berawal dari ucapan (slip of tongue).

Termasuk yang fenomenal di negeri ini adalah peristiwa penistaan kepada salah satu ayat dalam Al-Qur’an oleh seorang pejabat publik di Jakarta yang akhirnya menggerakkan jutaan umat Islam dalam aksi bela Islam 212.

Dzun Nun Al Mishri Rahimahullah pernah mengatakan,

أحسن الناس لنفسه املكهم للسانه

“Paling bagusnya manusia bagi dirinya sendiri adalah mereka yang paling menguasai lisannya.”

Orang yang paling beruntung adalah mereka yang mampu menguasai lisannya bukan malah dikuasai oleh lisannya. Berfikir sebelum bicara bukan asal bicara baru mikirnya belakangan seperti yang banyak terjadi saat ini.

Maka benar adanya jika dikatakan bahwa lidah orang berakal itu ada di belakang akalnya sedangkan akal orang bodoh ada di belakang lidahnya.

Di dalam Kitab Arbain Nawawi pada urutan hadis ke lima belas disebutkan,

عن أبي هُرَيْرَةَ الله ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau (jika tidak bisa) hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengenai hadis tersebut, di dalam kitab Jawahirul Lu’luiyyah Fi Syarhil Arbain Al Nawawiyah Lil Al Allamah Syekh Muhammad bin Abdillah Al Jurdani disebutkan penjelasan sebagai berikut,

والمعنى : فليفعل أفعال المؤمنين الكاملين في إيمانهم من قول الخير وهو ما فيه ثواب أو الصمت – أي السكوت – عما لا خير فيه . وهو شامل للصمت عن الحرام والمكروه، بل وعن المباح أيضًا ؛ لأنه لا خير فيه ، وربما جر إلى مكروه أو حرام … وعلى تقدير أنه لا يجر إليهما ففيه ضياع للوقت فيما لا يعني . وقد مر:  من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

Maknanya adalah, maka hendaklah kalian melakukan perbuatan orang-orang mukmin yang sempurna di dalam keimanannya seperti berkata dengan perkataan yang baik yaitu yang di dalamnya ada pahala atau memilih diam dari perkataan yang haram, atau makruh atau dari perkataan  yang tidak ada kebaikan di dalamnya walaupun mubah. Karena terkadang dari yang mubah itu bisa menarik kepada yang makruh atau yang haram. Dan kalaupun seumpama tidak membawa kepada yang haram atau yang makruh, maka itu termasuk daripada menyia-nyiakan waktu. Sungguh telah lewat sebuah hadis Nabi yang berbunyi bahwa daripada bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaat di dalamnya.”

Tidak dapat dipungkiri di era sosial media seperti saat ini banyak sekali peluang maupun sarana untuk membuat orang menjadi julid. Kini banyak ditemui orang-orang yang secara dhohir di kehidupan masyarakat terlihat pendiam alias tidak banyak tingkah namun ternyata di dunia “lain” (dunia maya) merupakan manusia julid kelas suhu.

Apapun peristiwa baik yang kecil (remeh-temeh) hingga yang besar mereka komentari. Julid di sini bukan dimaksudkan pada kelompok julid fi Sabilillah yang kini sedang ramai dibahas di sosial media, namun lebih kepada sekelompok kalangan  yang “tidak ada pekerjaan lain” selain berselancar di rimba maya dan mengomentari berbagai peristiwa.

Baik dengan cara diunggah di berbagai media daring dan sosial media dan tidak jarang juga merisak unggahan aktivitas maupun ucapan para pemengaruh maupun artis yang dinilai kurang sesuai dalam pandangan mereka.

Perlu diingat bahwa aktivitas jemari kaum julid ini adalah perpanjangan dari lisan yang terwakili oleh tulisan.

Juga fenomena menjamurnya acara stand up komedi yang beberapa tahun terakhir ini kian marak. Sebuah acara lawakan mandiri yang tidak jarang menyeret para pegiatnya ke ranah hukum akibat lisannya yang terlalu liar terumbar.

Bahkan mirisnya terkadang mereka sendiri yang memposisikan dirinya ke arah bablas itu dengan menyengaja membuat materi lawakan kritis yang dalam istilah sekarang masyhur disebut sebagai komedi tepi jurang.

Dapat kita lihat beberapa komika terpeleset ke arah penistaan baik kepada agama, sosok penguasa, ataupun institusi negara. Mulai dari komika yang mencampur daging babi yang diberi irisan kurma dengan dalih agar jadi halal, komika yang membanggakan dirinya sebagai keturunan PKI.

Yang terbaru ada komika di Lampung yang menistakan nama Nabi Muhammad ﷺ dengan gambaran yang tidak pantas. Semua itu adalah akibat dari lisan yang tidak dijaga.

Lisan adalah sebuah organ dalam tubuh manusia yang mana dijamin oleh Rasulullah ﷺ bagi yang bisa menjaganya maka beliau menjaminkan surga pasti didapat, seperti sabda beliau yang berbunyi,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR. Bukhari).

Bahkan di dalam worldview Islam diajarkan oleh Rasulullah ﷺ bahwa ada relevansi antara predikat sebagai Muslim yang ideal dengan baiknya ucapan. Disebutkan di dalam hadis,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari).

Sahabat Muadz bin Jabal Radiyallahu Anhu pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ

“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Rasulullah ﷺ menjawab,

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya?” (HR. Tirmidzi)

Urgensi Diam

Daripada bentuk pengamalan hadis Nabi, selain untuk berkata yang baik adalah untuk senantiasa banyak diam alias tidak berbicara kecuali  yang ada manfaatnya.

Lukman Al Hakim pernah berkata kepada anaknya,

وقال لقمان لابنه : لو كان الكلام من فضة كان السكوت من ذهب

 “Seandainya perkataan itu adalah ibarat perak maka diam adalah ibarat emas.”

Perkataan tersebut semakna dengan ucapan Ibnul Mubarak yang berbunyi,

  ومعناه كما قال ابن المبارك : لو كان الكلام في طاعة الله من فضة لكان السكوت عن معصية الله من ذهب

“Seandainya perkataan di dalam ketaatan kepada Allah itu ibarat seperti perak maka diam (tidak bermaksiat kepada Allah) itu ibarat emas.”

وقيل : إن أدنى نفع الصمت السلامة وأدنى ضرر النطق الندامة

“Dan dikatakan sesungguhnya paling rendahnya manfaat daripada diam adalah keselamatan. Dan paling rendahnya daripada bahaya perkataan adalah penyesalan.”

Imam Sufyan At Tsauri juga mengatakan,

وقال سفيان – رضي الله تعالى عنه –  الصمت أمان من تحريف اللفظ ، وعصمة من زيغ النطق ، وسلامة من فضول القول ، وهيبة لصاحبه

Imam Sufyan At Tsauri Radiyallahu Anhu mengatakan, “Diam itu keamanan daripada berubahnya lafadz (tulisan), dan penjagaan daripada penyimpangan ucapan, dan keselamatan daripada perkataan yang berlebihan, dan kewibawaan bagi pelakunya.”

Dan masih banyak lagi manfaat daripada diam. Maka sekali lagi seperti ajaran Nabi yang menyatakan bahwa selamatnya manusia ada pada kemampuannya menjaga lisan, maka hendaklah di zaman yang makin banyak peluang untuk berbuat dosa ini kita perbanyak berkata yang baik atau diam. Karena inilah salah satu  jalan keselamatan manusia di akhir zaman ini.

Sebagai penutup mari kita simak wejangan para Ulama berikut,

ومن وصايا بعض الأكابر : إياك وكثرة الكلام فإنه يظهر من عيوبك ما بطن ، ويحرك من عدوك ما سكن

Daripada wasiat-wasiat sebagian ulama besar adalah, “Berhati-hatilah daripada banyak omong, karena ia akan menampakkan aib-aibmu yang selama ini tersembunyi dan akan menggerakkan musuh-musuhmu yang selama ini diam.”

Dan ingat pula kalimat kunci daripada teladan terbaik manusia yang berbunyi,

 من صمت نجا

“Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Tirmidzi). Wallahu A’lam bis Showab. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan