JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Ahli waris, mendiang Brata Ruswanda lewat kuasa hukumnya, Poltak Silitonga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa tanah seluas 10 hektare di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Pengacara yang akrab disapa PH Jepang itu juga melaporkan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya beserta tiga majelis hakim yang menangani perkara di tingkat banding ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan (Banwas) Mahkamah Agung RI.
Laporan tersebut dilayangkan pada Rabu (19/11). Ketiga hakim yang dilaporkan diketahui menangani perkara perdata tingkat banding terkait putusan nomor 17/Pdt.G/2025/PN PBun atas gugatan ahli waris mendiang Brata Ruswanda.
“Kami laporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan penyimpangan perilaku hakim,” ujar Polkat dalam siaran persnya, Kamis (20/11).
Dia berharap laporan tersebut dapat diproses secara profesional oleh KY.
“Supaya penegakkan hukum di negeri ini benar-benar ditegakkan dengan kebenaran dan keadilan,” ujarnya.
Di hari yang sama, Poltak Silitonga juga melaporkan dugaan serupa ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI untuk memastikan proses pengawasan berjalan menyeluruh.
Kasus ini pun diperkirakan membuat sengketa tanah tersebut kian memanas, mengingat langkah hukum yang diambil ahli waris kini menyasar ranah etik dan pengawasan hakim.
Poltak menegaskan bahwa perkara yang mereka ajukan tidak dapat dikategorikan nebis in idem, serta menyatakan akan melaporkan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya ke Komisi Yudisial.
Dia mengatakan pada tingkat pertama Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, pihaknya memenangkan gugatan. Namun putusan tersebut dibatalkan di tingkat banding setelah pihak tergugat mengajukan upaya hukum.
“Kami sangat kecewa dengan putusan banding. Gugatan kami ditolak dan dinyatakan nebis in idem. Kami menilai hakim PT Palangkaraya memutus perkara tanpa data, tanpa bukti, dan tanpa dasar hukum,” tegas Poltak.
Dia juga menduga adanya intervensi kekuasaan dalam putusan tersebut, termasuk dugaan keterlibatan Ketua PT Palangka Raya.
“Ini bukan putusan yang independen. Kami melihat adanya intervensi yang membatalkan putusan PN Pangkalan Bun,” ujarnya.
Poltak menegaskan bahwa putusan banding yang menyatakan adanya nebis in idem adalah keliru. Menurutnya, unsur-unsur nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata sama sekali tidak terpenuhi.
“Subjek hukumnya berbeda, objek perkaranya berbeda, dan pokok perkaranya juga berbeda. Jadi bagaimana mungkin dikatakan nebis in idem?” katanya.