18 Akademisi Hukum Minta MK Batasi Pasal 21 UU Tipikor, Dinilai Overkriminalisasi

Minggu 12 Oct 2025 - 21:13 WIB

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Sebanyak delapan belas akademisi hukum pidana dari berbagai universitas di Indonesia menyerahkan dokumen amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi. Dokumen itu diajukan dalam perkara yang menguji Pasal 21 Undang-Undang Tipikor tentang delik obstruction of justice, yang dimohonkan oleh Hasto Kristiyanto.

Para akademisi menilai pasal tersebut mengandung norma yang kabur, melanggar asas legalitas, dan berpotensi menyebabkan kriminalisasi berlebihan. Dalam dokumennya, mereka menyoroti frasa "mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung" dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dinilai tidak memiliki batasan hukum yang jelas. Ketidakjelasan ini dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum.

"Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam," kata Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu dari JPNN.COM

Dokumen tersebut telah diserahkan ke MK pada Kamis (9/10). Para akademisi menegaskan bahwa tafsir bebas tersebut melanggar konstitusi dan menimbulkan praktik over-kriminalisasi. Mereka juga menyoroti tidak adanya unsur "melawan hukum" dalam pasal tersebut, sehingga tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan.  Ancaman pidananya juga dinilai tidak proporsional.

"Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," ujar Deni.

Para ahli hukum, termasuk Prof. Tongat dari UMM, Prof. Mahmutarom HR dari Unwahas, dan Prof. Rena Yulia dari Untirta, meminta MK memberikan tafsir pembatasan. Mereka mengusulkan agar pasal ini hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat yang dilakukan melalui kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sesuai dengan Konvensi PBB Antikorupsi.

"Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan," tulis para pakar dalam dokumen itu. 

 Mereka juga mengingatkan bahwa kekaburan rumusan hukum dapat mengakibatkan penafsiran sepihak. "Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar," tulis mereka. 

Kategori :