“Jika perayaan Maulid menyebabkan maksiat yang dominan, maka wajib ditinggalkan dan haram dilaksanakan.”
Beliau bahkan merinci:
يَخْتَلِطُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ … وَتَقَعُ الْفِتْنَةُ … وَيَثُورُ مِنَ الْمَفَاسِدِ مَا لَا يُحْصَى
“Jika terjadi ikhtilat, godaan, dan berbagai kerusakan lain, maka perayaan seperti itu tidak boleh dihadiri.”
Kalau Maulid saja — acara keagamaan — bisa haram karena ada kemungkaran, bagaimana dengan sound horeg yang sejak awal tidak punya nilai ibadah? Maka wajar jika ulama menegaskan keharamannya. Namun, fenomena penolakan ini menunjukkan matinya kepakaran dan hancurnya adab terhadap ulama.
Imam Fudhail bin Iyadh رحمه الله berkata:
العَالِمُ طَبِيبُ الدِّينِ، وَحُبُّ الدُّنْيَا دَاءُ الدِّينِ
“Ulama adalah dokternya agama, sementara cinta dunia adalah penyakit agama.”
Imam Al-Washiti juga berkata: “Yang paling penyayang adalah ulama, karena takutnya kepada Allah dan kepeduliannya terhadap ilmu yang diajarkan Allah.”
Mereka yang mencemooh ulama adalah korban dari Loss of Adab sebagaimana diurai oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism. Salah satu ciri keruntuhan adab adalah penyamarataan semua pendapat. Kata beliau:
“Proses ini dilakukan melalui dorongan pemimpin palsu yang ingin menghancurkan otoritas yang sah dan hierarki yang benar…” (Islam dan Sekularisme, hlm. 140–141)
Senada dengan itu, Tom Nichols dalam The Death of Expertise menyatakan: “Demokrasi mengundang tantangan terhadap pengetahuan yang telah mapan, bukan hanya terhadap isi, tapi juga terhadap otoritasnya.”
(hlm. 19).
Kembali ke Sanad
Fenomena ini juga dijelaskan Alexis de Tocqueville, pengamat Prancis abad ke-19, bahwa dalam demokrasi, masyarakat cenderung percaya kepada dirinya sendiri daripada kepada pakar.
Maka dalam era digital dan demokrasi liberal seperti sekarang, suara netizen bisa lebih didengar daripada suara ulama atau ahli.