Tinggalkan Amerika untuk Gabung IDF, Eh, Pria Yahudi Ini Malah Masuk Islam

Kamis 15 May 2025 - 22:21 WIB

JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - DI SEBUAH sudut kecil Yerusalem, Michael, menjalani hidup yang berbeda dari keturunan Yahudi lain. Awalnya ia meninggalkan Amerika Serikat (AS) untuk gabung jadi tentara IDF, takdir berkata lain, dia justru memilik jalan Islam.

Setelah mengikuti program “Birthright” (program untuk pemuda Yahudi diaspora) ke ‘Israel’, Michael menetapakan diri bergabung dengan tentara penjajah IDF.

Lahir dari keluarga Yahudi konservatif di New York, Michael dibesarkan dengan ajaran Yahudi yang ketat. Masa kecilnya dipenuhi dengan doa di sinagoga, Perayaan Hanukkah yang meriah, dan cerita-cerita tentang tanah leluhur mereka di ‘Israel’ (tanah bangsa Palestina yang kini dirampok penjajah).

“Sejak kecil, saya diajarkan bahwa ‘Israel’ adalah tanah air kami. Itu adalah warisan dan kebanggaan kami sebagai orang Yahudi,” kenang Michael .

Sebagai keturunan Yahudi dengan keluarga yang selamat dari Holocaust, ia tumbuh dengan kebanggaan akan identitas Yahudinya. Ketika Michael berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk pindah ke ‘Israel’ dan menjadi warga negara.

Ia bahkan memimpin perjalanan kepada pemuda Yahudi untuk memperkenalkan orang lain pada tanah suci milik orang Palestina.

“Aku berkata pada ibuku, ‘Aku akan bergabung dengan IDF. Aku ingin tinggal di sini selamanya,'” kenang Michael The Ansari Podcast bertajuk “Polisi Yahudi AS Masuk Islam Setelah Peristiwa 7 Oktober“.

Ini adalah panggilan yang selalu dirasakannya, sebuah perjalanan spiritual dan nasional. Setelah tiba, ia bergabung sebagai polisi ‘Israel’, seperti banyak pemuda Yahudi lainnya juga melakukan.

Namun pengalamannya sebagai aparat ‘Israel’ semakin memperkuat dan mempertanyakan pada identitas Yahudi dan Zionisnya.

Benturan dengan Realitas: Pro-’Israel’ vs. Pro-Palestina

Sebagai petugas polisi di kampus yang didominasi Yahudi, Michael ditugaskan mengawasi demonstrasi pro-’Israel’. Di sana, ia menyaksikan kekerasan verbal dan fisik terhadap demonstran pro-Palestina, termasuk seorang gadis berhijab yang diludahi.

“Aku melihat kebencian di mata mereka. Tapi yang mengejutkanku, para demonstran Palestina tetap tenang. Mereka tidak membalas. Aku terpana,” katanya.

Namun, benih keraguan mulai tumbuh saat ia berbincang dengan seorang pedagang Palestina di pasar. Pedagang itu terburu-buru pulang sebelum checkpoint ditutup, sebuah kenyataan yang asing bagi Michael.

“Dia bilang, ‘Kita tidak sama.’ Aku bingung. Aku tidak tahu apa-apa tentang Tepi Barat atau Gaza,” ujarnya.

Kehidupannya mulai berubah ketika ia secara tidak sengaja terlibat dalam sebuah protes pro-’Israel’ di Yerusalem. Pada awalnya, ia berdiri bersama rekan-rekannya, tetapi sesuatu menarik perhatiannya.

Kategori :