Ada pengambil kebijakan (policy makers) yang tepat (smart) dan ada juga yang tidak tepat, itu semua diukur dari kinerja penurunan depresiasinya.
Satu hal yang pasti yaitu depresiasi Rupiah yang terpuruk tersebut menunjukan kinerja Bank Indonesia yang buruk dan seharusnya dievaluasi karena sejumlah kebijakannya berbiaya besar, tetapi tidak efektif.
Kerapuhan Domestik: Defisit Transaksi Berjalan dan Utang yang Tak Terkendali
Para pendukung otoritas keuangan mungkin ingin menyalahkan Donald Trump dan perang dagang AS-China, tetapi akar masalahnya ada di dalam negeri.
Defisit transaksi berjalan Indonesia pada 2025 diprediksi membengkak di angka 1,18 persen-2,3 persen PDB, lebih tinggi daripada Vietnam yang diprediksi surplus (2,7 persen, prediksi IMF) dan India defisit (1,2 persen prediksi ICRA).
Defisit ini terutama dipicu oleh ketergantungan impor yang kronis di sektor retail, manufaktur dan energi.
Padahal, sejak 2020, BI dan pemerintah telah diingatkan untuk mempercepat industrialisasi dan diversifikasi energi.
Namun, nyatanya, impor minyak mentah Indonesia justru naik 15 persen pada 2024, sementara ekspor manufaktur non-migas tumbuh, tetaoi tidak begitu signifikan. (jp)