JAKARTA.RADARLEBONG.BACAKORAN.CO - Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin pagi di Jakarta melemah sebesar 251 poin atau 1,51 persen menjadi Rp 16.904 per USD dari sebelumnya Rp 16.653 per USD.
Pada hari ini, operasi moneter rupiah dan valas masih libur.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai Bank Indonesia (BI) kembali mengulangi narasi klasik terkait tekanan eksternal adalah biang kerok pelemahan rupiah ke level Rp17.000 per dolar AS.
Namun, klaim ini mengabaikan fakta bahwa negara-negara dengan fundamental ekonomi domestik solid, seperti Vietnam, Filipina, atau India. Mereka tidak mengalami depresiasi seburuk Indonesia.
Rupiah justru menjadi mata uang terlemah di Asia Tenggara pada April 2025, padahal gejolak tarif AS-China berdampak global.
"Ini bukan sekadar persoalan eksternal, melainkan ketidaksiapan BI dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang tahan banting," ungkap Nur Hidayat, Senin (7/4).
Intervensi NDF: Reaksi Panik, Bukan Strategi
BI mengumumkan intervensi di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) pada 7 April 2025, tepat setelah Rupiah terjun bebas mendekati ke Rp 17.200 di pasar luar negeri.
Menurut Nur Hidayat, langkah ini terkesan berulang namun hasilnya kurang memuaskan hanya sebagai upaya damage control yang tidak efektif, bukan antisipasi matang.
Padahal, sejak awal Maret 2025, sinyal kenaikan tarif AS-China sudah jelas.
Nur Hidayat menjelaskan ketika AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April, BI seharusnya langsung mengaktifkan segenap langkah antisipasi (protokol) depresiasi lebih dalam, bukan menunggu liburan panjang hingga Rupiah terjerembap di level terendah sejarah.
Perbandingan dengan Bank Sentral Filipina (BSP) dan Bank Sentral lainnya menunjukkan perbedaan mencolok.
Dia melanjutkan Sejak AS mulai mengancam kenaikan tarif pada Februari 2025, BSP telah memperkuat cadangan devisa melalui forward contracts.
"Alhasil, peso Filipina hanya terdepresiasi 6,8 persen pada periode 1 Februari- 7 April 2025, sementara Rupiah merosot 13,2 persen pada periode yang sama. BI, di sisi lain, bereaksi DNDF setelah depresiasi besar terjadi—bukti nyata ketidaksiapan," beber Nur Hidayat.
Meskipun demikian, kebijakan moneter adalah kebijakan yang bersifat kompleks dan responsif terhadap berbagai faktor, dan perbedaan strategi dengan bank sentral lain bukti independensi bank sentral.